Sejarah Singkat Masyarakat adat
Komunitas Toro yang sekarang
dikenal dengan Ngata Toro terbentuk pada 1950-an, yaitu pada saat kedatangan
orang Rampi dalam jumlah yang cukup besar. Perpindahan itu terjadi ketika
berlangsungnya pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar pada awal tahun 1950-an di
Propinsi Sulawesi Selatan. Masuknya orang Rampi secara bergelombang ini telah
meningkatkan jumlah kelompok masyarakat ini di Toro. Namun, keragaman kelompok
masyarakat di Toro tidak terbatas pada orang Rampi semata. Pada akhir 1960-an,
Toro kembali menampung migrasi kelompok masyarakat Uma yang berasal dari Kulawi
bagian barat. Berbeda dari pola migrasi sebelumnya, kedatangan orang Uma ke
Toro ini merupakan bagian dari proyek pemukiman kembali(resettlement) yang
dilakukan secara paksa oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok masyarakat
yang dianggap terasing dan terbelakang. Dengan sejarah demografi ini, maka
komposisi penduduk Toro saat ini terdiri atas tiga kelompok dominan, yaitu
orang Moma sebagai penduduk asli dengan jumlah mayoritas, orang Rampi dan Uma
sebagai etnis pendatang yang jumlahnya juga cukup signifikan. Yang menarik,
keragaman kelompok masyarakat ini ternyata telah menciptakan struktur pemukiman
yang terdistribusi menurut kelompoknya sehingga menciptakan boya-boya
(dusun-dusun) dengan komposisi penduduk yang secara etnis relatif homogen.
Orang Moma terkonsentrasi di Boya 1, 2, 3 dan sebagian Boya 4 sedangkan orang
Rampi di Boya 5 dan 7 dan orang Uma terpusat di Boya 6 Meskipun keragaman
kelompok masyarakat di Toro ini membentuk pola pemukiman yang saling terpisah,
namun keragaman ini dalam derajat tertentu telah dirajut oleh ikatan-ikatan
kekerabatan dan yang telah dimapankan oleh rasa saling hormat menghormati dan
saling menghargai antara penduduk asli dan penduduk pendatang. Semua orang Toro
menyebut diri dengan ‘kami adalah masyarakat Toi Toro’.
Mitos asal-usul memiliki
kedudukan yang penting di masyarakat Toro dan amat sentral bagi proses
identifikasi kelompok dan penumbuhan kesadaran akan kesatuan dan sekaligus
perbedaan. Proses identifikasi semacam ini merupakan hal yang amat perlu bagi
masyarakat Toro, terutama untuk memproduksi pranata sosial yang ada dengan
melibatkan segenap unsur di masyarakat Toro. Dengan demikian, meskipun mitos
mengisahkan kejadian-kejadian yang tidak biasa ditemui di dunia nyata, mitos
bukanlah cerita kosong belaka tanpa makna. Mitos di Toro merupakan merupakan
unsur yang menggambarkan ”angan-angan sosial” yang ikut membentuk identitas
pada kelompok dan makna pada sejarahnya. Angan-angan sosial tersebut terbangun
dari berbagai unsur peristiwa nyata, realitas sosial, dan lingkungan fisik
kelompok yang bersangkutan. Suatu pernyataan mitos tentang kejadian masa lampau
berfungsi sebagai “cerminan bagi kehidupan masa kini”.
Ada tiga mitos yang hidup di
tengah masyarakat Toro yang menjelaskan tentang asal-usul dan identitas
kolektif mereka. Dalam bahasa Kulawi Moma kata ‘Toro’ berarti ‘sisa’.
Pengertian ini mengacu pada suatu wilayah yang ditinggal pergi oleh penduduknya
sehingga telah menjadi hutan belantara dan bukan merupakan pemukiman lagi.
Selain itu, juga mengacu pada pelarian sisa-sisa penduduk kampung Malino yang
akhirnya menempati wilayah yang telah ditinggalkan tadi. Kedua mitos ini saling
berkaitan dan dirajut oleh mitos ketiga tentang kegiatan berburu “Balu”
(bangsawan Kulawi). Ketiga mitos ini secara bersama-sama saling terjalin erat
sebagai kisah terbentuknya komunitas Toro. Berikut ini adalah narasi dari
ketiga mitos yang hidup di tengah – tengah masyarakat Toro akan diuraikan pada
bagian berikut ini.
• Mitos tentang tempat. Mitos
pertama ini mengisahkan tentang lokasi yang sekarang ini membentuk Ngata Toro.
Dikisahkan tentang riwayat tempat ini yang semula didiami oleh etnis Uma.
Bencana banjir besar dan longsor menyebabkan tempat ini ditinggalkan oleh
penduduknya. Tempat pemukiman itu kemudian berubah menjadi danau setelah
terjadinya banjir besar itu. Konon kisah terjadinya banjir di awali dengan
pertengkaran dua kakak beradik yang memperebutkan tambur emas (karatu bulawa).
Salah satu dari mereka yang bertengkar memotong kaki kucing, kemudian dipakai
untuk menabuh tambur tersebut dengan sekeras kerasnya. Padahal kucing dianggap
hewan keramat yang menurut kepercayaan tidak boleh dimandikan, apalagi sampai
diusik dan disakiti. Diyakini, tindakan semacam itu akan mendatangkan bencana
besar. Tidak lama setelah pemotongan kaki kucing, menjelang sore hari, hujan
mendadak turun dengan derasnya disertai angin ribut dan bunyi petir yang
meledak-ledak. Kegelapanpun meliputi pemukiman, pohon-pohon mulai bertumbangan,
tanahpun mulai longsor. Ini berlangsung selama tiga hari tiga malam. Akhirnya
pemukiman ini hancur lebur dilanda bencana alam dan menjadi sebuah danau.
• Kisah pelarian orang Malino
Berbeda dengan mitos pertama yang mengisahkan riwayat sebuah tempat, mitos
kedua menceriterakan tentang penduduk Malino yang diserang oleh makhluk halus
sehingga melarikan diri dari kampungnya. Para pelarian Malino inilah yang
membentuk satu perkampungan baru yang dikenal dengan nama Toro yang sekarang.
Konon kisahnya diawali dengan permainan gasing antara anak-anak penduduk Malino
dengan anak orang bunian. Anak-anak bunian menggunakan gasing dari emas dan
gasing anak-anak Malono dikalahkan semuanya. Anak-anak Malino melapor kepada
orang tuanya bahwa tadi siang mereka bermain gasing dengan orang yang tidak
dikenal. Gasing mereka semuanya berwarna kuning mengkilap, demikian pula
anak-anak tak dikenal tersebut. Keesokan harinya orang tua dari anak-anak
penduduk Malino membunuh anak yang memakai gasing emas dan mengambil gasing
emasnya. Sore setelah peristiwa itu terdengar suara yang bergemuruh seperti
orang yang sedang berperang. Namun, tidak ada siapapun yang terlihat selain
parang dan tombak yang beterbangan menyerang. Sadarlah orang Malino bahwa
mahluk halus telah datang menyerang untuk menuntut balas atas kematian anaknya.
Penduduk Malino tercerai berai karena tidak mampu melawan para penyerang yang
tidak kelihatan. Sebagian besar penduduk Malino terbunuh dan hanya 7 rumah
tangga yang berhasil selamat pergi mengungsi ke tempat lain. Para pelarian dari
Malino ini lantas membuka hutan dan membangun pemukiman, bertani hingga
membentuk satu perkampungan yang mereka beri nama Toro atau yang tersisa
menurut dialek Moma.
• Kisah penguasaan tempat
Mitos ketiga ini menuturkan
aktivitas berburu Balu, seorang bangsawan Kulawi. Balu, seorang Maradika
(bangsawan) Kulawi, yang memerintah saat itu, dikenal sebagai orang yang gemar
berburu. Tidak puas dengan tempat yang sudah pernah didatangi, ia pun pergi
menjelajah gunung-gunung dan lembah-lembah baru untuk mencari tempat perburuan.
Akhirnya ia menemukan lembah yang amat subur karena terbentuk dari danau yang
telah surut. Tempat ini adalah bekas pemukiman pada masa lampau yang
ditinggalkan karena bencana alam. Kemudian Balu mengajak orang pelarian dari
Malino untuk melihat-lihat lokasi perburuan yang ditemukannya. Setelah
melihat-lihat keadaan di sana dan merasa cocok, maka terjadi tawar menawar
antara Balu dan Mpone, si pemimpin rombongan pelarian. Dicapailah kesepakatan
untuk membeli lembah dan gunung-gunung yang ada di sekitarnya dengan harga
tujuh gumpal emas sebesar burung pipit. Lokasi terjadi kesepakatan jual beli
itu kelak di belakang hari disebut Kaputua yang berarti tempat mencapai
keputusan. Setelah transaksi, para pelarian Malino kemudian tinggal di tempat
ini dan berkembang kian banyak. Lama kelamaan tempat ini dikenal dangan nama
“Toro” karena didiami pelarian sisa-sisa orang dari Malino. Sejarah panjang
komunitas Toro dengan lingkungannya telah membentuk suatu lanskap budaya dan stabilitas
ekologis yang mantap. Hal ini tercermin baik pada aras pranata sosialbudaya
maupun sistem pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat pada komunitas ini.
Hak atas tanah dan pengelolaan
Wilayah
Pembagian ruang menurut adat
• Wana Ngkiki, yaitu kawasan
hutan primer di puncak gunung yang sebagiannya didominasi oleh rerumputan,
lumut dan perdu. Kawasan ini dianggap amat penting sebagai sumber udara segar
(winara), dan tidak boleh dijamah aktivitas manusia. Dalam kawasan Wana Ngkiki
ini tidak terdapat hak
• Wana, yaitu hutan primer di
sebelah bawah Wana ngkiki yang merupakan habitat hewan dan tumbuhan langka, dan
sebagai kawasan tangkapan air. Karena itu, di area ini dilarang membuka lahan
pertanian karena bisa menimbulkan bencana alam. Wana hanya boleh dimanfaatkan
untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian dan
obat-obatan, serta rotan. Kepemilikan pribadi (Dodoha) di dalam kawasan ini
hanya berlaku pada pohon damar yang penentuannya tergantung pada siapa yang
pertama kali mengolahnya. Sementara sumber daya alam yang selebihnya merupakan
hak penguasaan kolektif sebagai bagian ruang hidup dan wilayah kelola
tradisional masyarakat (Huaka).
• Pahawa pongko yaitu, campuran
hutan semi-primer dan sekunder merupakan hutan bekas kebun yang telah
ditinggalkan selama sekitar 25 tahun atau lebih sehingga sudah menyerupai
pangale. Pohonnya sudah besar, jadi untuk menebangnya sudah harus menggunakan
pongko (pijakan yang terbuat dari kayu) yang cukup tinggi agar dapat
menebangnya dengan mudah. Penebangan pada tempat yang agak tinggi ini
dimaksudkan agar tunggulnya bisa bertunas kembali ( karena itu disebut pahawa
yang berarti “pengganti“). Seperti halnya pangale, kawasan ini juga tidak
tercakup dalam hak pemilikan pribadi terkecuali pohon damar yang ada di
dalamnya.
• Oma yakni hutan belukar yang
terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam
jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem perladangan bergilir.
Oleh karena itu, pada kategori ini sudah melekat hak kepemilikan pribadi
(Dodoha) dan tidak berlaku lagi kepemilikan kolektif (Huaka) karena lahan ini
merupakan areal yang dipersiapkan untuk diolah lagi menurut urutan
pergilirannya. Urutan pergiliran ini membentuk tiga kategori Oma yaitu:
- Oma ntua, apabila lahan ini
dibiarkan selama 16 hingga 25 tahun, mengingat usianya, jenis ini sudah tua
sehingga tingkat kesuburan tanahnya sudah pulih dan dapat diolah
- Oma ngura, yaitu kategori yang
lebih muda karena dibiarkan selama 3 hingga 15 tahun. Lahan ini didominasi
rerumputan dan belukar. Pohon-pohon yang tumbuh masih kecil sehingga masih bisa
ditebas memakai parang tanpa banyak kesulitan.
- Oma nguku adalah bekas kebun
belum sampai 3 tahun ditinggalkan. Lahan ini masih di dominasi oleh rerumputan,
ilalang dan semak perdu.
• Balingkea yaitu bekas kebun
yang sudah berkurang kesuburannya dan sudah harus di istirahatkan. Meskipun
begitu, lahan ini masih bisa diolah untuk tanaman palawija seperti jagung, ubi
kayu, kacang-kacangan, cabe, dan sayuran. Balingkea sudah termasuk hak
kepemilikan pribadi (Dodoha).
• Pangale, yaitu kawasan hutan
semi-primer yang dulu sudah pernah diolah menjadi kebun namun telah
ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga telah menghutan kembali. Kawasan ini
dalam jangka panjang dipersiapkan untuk dibuat lahan kebun, sedangkan
datarannya untuk dijadikan sawah. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil
rotandan kayu untuk bahan rumah dan keperluan rumah tangga, pandan hutan ntuk
membuat tikar dan bakul, bahan batobatan, getah damar dan wewangian.
Sumber : DISINI
0 comment:
Posting Komentar