TAIGANJA

Beberapa jenis Taiganja

BENDA PURBAKALA

Beberapa Benda Purbakala yang ada di wilayah Sulawesi Tengah.

SITUS MEGALIT

Beberapa Situs Megalit di Wilayah Napu.

SULTENG Daerah 1000 Megalit

Sulawesi Tengah dicanankan sebagai Daerah Seribu Megalit ...

PETA TUA

Peta Tua Wilayah Indonesia.

Rabu, 11 Juni 2025

Sejarah Singkat Masyarakat TORO

 


Sejarah Singkat Masyarakat adat TORO

Komunitas Toro yang sekarang dikenal dengan Ngata Toro terbentuk pada 1950-an, yaitu pada saat kedatangan orang Rampi dalam jumlah yang cukup besar. Perpindahan itu terjadi ketika berlangsungnya pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar pada awal tahun 1950-an di Propinsi Sulawesi Selatan. Masuknya orang Rampi secara bergelombang ini telah meningkatkan jumlah kelompok masyarakat ini di Toro. Namun, keragaman kelompok masyarakat di Toro tidak terbatas pada orang Rampi semata. Pada akhir 1960-an, Toro kembali menampung migrasi kelompok masyarakat Uma yang berasal dari Kulawi bagian barat. Berbeda dari pola migrasi sebelumnya, kedatangan orang Uma ke Toro ini merupakan bagian dari proyek pemukiman kembali(resettlement) yang dilakukan secara paksa oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap terasing dan terbelakang. Dengan sejarah demografi ini, maka komposisi penduduk Toro saat ini terdiri atas tiga kelompok dominan, yaitu orang Moma sebagai penduduk asli dengan jumlah mayoritas, orang Rampi dan Uma sebagai etnis pendatang yang jumlahnya juga cukup signifikan. Yang menarik, keragaman kelompok masyarakat ini ternyata telah menciptakan struktur pemukiman yang terdistribusi menurut kelompoknya sehingga menciptakan boya-boya (dusun-dusun) dengan komposisi penduduk yang secara etnis relatif homogen. Orang Moma terkonsentrasi di Boya 1, 2, 3 dan sebagian Boya 4 sedangkan orang Rampi di Boya 5 dan 7 dan orang Uma terpusat di Boya 6 Meskipun keragaman kelompok masyarakat di Toro ini membentuk pola pemukiman yang saling terpisah, namun keragaman ini dalam derajat tertentu telah dirajut oleh ikatan-ikatan kekerabatan dan yang telah dimapankan oleh rasa saling hormat menghormati dan saling menghargai antara penduduk asli dan penduduk pendatang. Semua orang Toro menyebut diri dengan ‘kami adalah masyarakat Toi Toro’.

Mitos asal-usul memiliki kedudukan yang penting di masyarakat Toro dan amat sentral bagi proses identifikasi kelompok dan penumbuhan kesadaran akan kesatuan dan sekaligus perbedaan. Proses identifikasi semacam ini merupakan hal yang amat perlu bagi masyarakat Toro, terutama untuk memproduksi pranata sosial yang ada dengan melibatkan segenap unsur di masyarakat Toro. Dengan demikian, meskipun mitos mengisahkan kejadian-kejadian yang tidak biasa ditemui di dunia nyata, mitos bukanlah cerita kosong belaka tanpa makna. Mitos di Toro merupakan merupakan unsur yang menggambarkan ”angan-angan sosial” yang ikut membentuk identitas pada kelompok dan makna pada sejarahnya. Angan-angan sosial tersebut terbangun dari berbagai unsur peristiwa nyata, realitas sosial, dan lingkungan fisik kelompok yang bersangkutan. Suatu pernyataan mitos tentang kejadian masa lampau berfungsi sebagai “cerminan bagi kehidupan masa kini”.

Ada tiga mitos yang hidup di tengah masyarakat Toro yang menjelaskan tentang asal-usul dan identitas kolektif mereka. Dalam bahasa Kulawi Moma kata ‘Toro’ berarti ‘sisa’. Pengertian ini mengacu pada suatu wilayah yang ditinggal pergi oleh penduduknya sehingga telah menjadi hutan belantara dan bukan merupakan pemukiman lagi. Selain itu, juga mengacu pada pelarian sisa-sisa penduduk kampung Malino yang akhirnya menempati wilayah yang telah ditinggalkan tadi. Kedua mitos ini saling berkaitan dan dirajut oleh mitos ketiga tentang kegiatan berburu “Balu” (bangsawan Kulawi). Ketiga mitos ini secara bersama-sama saling terjalin erat sebagai kisah terbentuknya komunitas Toro. Berikut ini adalah narasi dari ketiga mitos yang hidup di tengah – tengah masyarakat Toro akan diuraikan pada bagian berikut ini.

• Mitos tentang tempat. Mitos pertama ini mengisahkan tentang lokasi yang sekarang ini membentuk Ngata Toro. Dikisahkan tentang riwayat tempat ini yang semula didiami oleh etnis Uma. Bencana banjir besar dan longsor menyebabkan tempat ini ditinggalkan oleh penduduknya. Tempat pemukiman itu kemudian berubah menjadi danau setelah terjadinya banjir besar itu. Konon kisah terjadinya banjir di awali dengan pertengkaran dua kakak beradik yang memperebutkan tambur emas (karatu bulawa). Salah satu dari mereka yang bertengkar memotong kaki kucing, kemudian dipakai untuk menabuh tambur tersebut dengan sekeras kerasnya. Padahal kucing dianggap hewan keramat yang menurut kepercayaan tidak boleh dimandikan, apalagi sampai diusik dan disakiti. Diyakini, tindakan semacam itu akan mendatangkan bencana besar. Tidak lama setelah pemotongan kaki kucing, menjelang sore hari, hujan mendadak turun dengan derasnya disertai angin ribut dan bunyi petir yang meledak-ledak. Kegelapanpun meliputi pemukiman, pohon-pohon mulai bertumbangan, tanahpun mulai longsor. Ini berlangsung selama tiga hari tiga malam. Akhirnya pemukiman ini hancur lebur dilanda bencana alam dan menjadi sebuah danau.

• Kisah pelarian orang Malino Berbeda dengan mitos pertama yang mengisahkan riwayat sebuah tempat, mitos kedua menceriterakan tentang penduduk Malino yang diserang oleh makhluk halus sehingga melarikan diri dari kampungnya. Para pelarian Malino inilah yang membentuk satu perkampungan baru yang dikenal dengan nama Toro yang sekarang. Konon kisahnya diawali dengan permainan gasing antara anak-anak penduduk Malino dengan anak orang bunian. Anak-anak bunian menggunakan gasing dari emas dan gasing anak-anak Malono dikalahkan semuanya. Anak-anak Malino melapor kepada orang tuanya bahwa tadi siang mereka bermain gasing dengan orang yang tidak dikenal. Gasing mereka semuanya berwarna kuning mengkilap, demikian pula anak-anak tak dikenal tersebut. Keesokan harinya orang tua dari anak-anak penduduk Malino membunuh anak yang memakai gasing emas dan mengambil gasing emasnya. Sore setelah peristiwa itu terdengar suara yang bergemuruh seperti orang yang sedang berperang. Namun, tidak ada siapapun yang terlihat selain parang dan tombak yang beterbangan menyerang. Sadarlah orang Malino bahwa mahluk halus telah datang menyerang untuk menuntut balas atas kematian anaknya. Penduduk Malino tercerai berai karena tidak mampu melawan para penyerang yang tidak kelihatan. Sebagian besar penduduk Malino terbunuh dan hanya 7 rumah tangga yang berhasil selamat pergi mengungsi ke tempat lain. Para pelarian dari Malino ini lantas membuka hutan dan membangun pemukiman, bertani hingga membentuk satu perkampungan yang mereka beri nama Toro atau yang tersisa menurut dialek Moma.

• Kisah penguasaan tempat

Mitos ketiga ini menuturkan aktivitas berburu Balu, seorang bangsawan Kulawi. Balu, seorang Maradika (bangsawan) Kulawi, yang memerintah saat itu, dikenal sebagai orang yang gemar berburu. Tidak puas dengan tempat yang sudah pernah didatangi, ia pun pergi menjelajah gunung-gunung dan lembah-lembah baru untuk mencari tempat perburuan. Akhirnya ia menemukan lembah yang amat subur karena terbentuk dari danau yang telah surut. Tempat ini adalah bekas pemukiman pada masa lampau yang ditinggalkan karena bencana alam. Kemudian Balu mengajak orang pelarian dari Malino untuk melihat-lihat lokasi perburuan yang ditemukannya. Setelah melihat-lihat keadaan di sana dan merasa cocok, maka terjadi tawar menawar antara Balu dan Mpone, si pemimpin rombongan pelarian. Dicapailah kesepakatan untuk membeli lembah dan gunung-gunung yang ada di sekitarnya dengan harga tujuh gumpal emas sebesar burung pipit. Lokasi terjadi kesepakatan jual beli itu kelak di belakang hari disebut Kaputua yang berarti tempat mencapai keputusan. Setelah transaksi, para pelarian Malino kemudian tinggal di tempat ini dan berkembang kian banyak. Lama kelamaan tempat ini dikenal dangan nama “Toro” karena didiami pelarian sisa-sisa orang dari Malino. Sejarah panjang komunitas Toro dengan lingkungannya telah membentuk suatu lanskap budaya dan stabilitas ekologis yang mantap. Hal ini tercermin baik pada aras pranata sosialbudaya maupun sistem pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat pada komunitas ini.

Hak atas tanah dan pengelolaan Wilayah

Pembagian ruang menurut adat

• Wana Ngkiki, yaitu kawasan hutan primer di puncak gunung yang sebagiannya didominasi oleh rerumputan, lumut dan perdu. Kawasan ini dianggap amat penting sebagai sumber udara segar (winara), dan tidak boleh dijamah aktivitas manusia. Dalam kawasan Wana Ngkiki ini tidak terdapat hak

• Wana, yaitu hutan primer di sebelah bawah Wana ngkiki yang merupakan habitat hewan dan tumbuhan langka, dan sebagai kawasan tangkapan air. Karena itu, di area ini dilarang membuka lahan pertanian karena bisa menimbulkan bencana alam. Wana hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian dan obat-obatan, serta rotan. Kepemilikan pribadi (Dodoha) di dalam kawasan ini hanya berlaku pada pohon damar yang penentuannya tergantung pada siapa yang pertama kali mengolahnya. Sementara sumber daya alam yang selebihnya merupakan hak penguasaan kolektif sebagai bagian ruang hidup dan wilayah kelola tradisional masyarakat (Huaka).

• Pahawa pongko yaitu, campuran hutan semi-primer dan sekunder merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama sekitar 25 tahun atau lebih sehingga sudah menyerupai pangale. Pohonnya sudah besar, jadi untuk menebangnya sudah harus menggunakan pongko (pijakan yang terbuat dari kayu) yang cukup tinggi agar dapat menebangnya dengan mudah. Penebangan pada tempat yang agak tinggi ini dimaksudkan agar tunggulnya bisa bertunas kembali ( karena itu disebut pahawa yang berarti “pengganti“). Seperti halnya pangale, kawasan ini juga tidak tercakup dalam hak pemilikan pribadi terkecuali pohon damar yang ada di dalamnya.

• Oma yakni hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem perladangan bergilir. Oleh karena itu, pada kategori ini sudah melekat hak kepemilikan pribadi (Dodoha) dan tidak berlaku lagi kepemilikan kolektif (Huaka) karena lahan ini merupakan areal yang dipersiapkan untuk diolah lagi menurut urutan pergilirannya. Urutan pergiliran ini membentuk tiga kategori Oma yaitu:

- Oma ntua, apabila lahan ini dibiarkan selama 16 hingga 25 tahun, mengingat usianya, jenis ini sudah tua sehingga tingkat kesuburan tanahnya sudah pulih dan dapat diolah

- Oma ngura, yaitu kategori yang lebih muda karena dibiarkan selama 3 hingga 15 tahun. Lahan ini didominasi rerumputan dan belukar. Pohon-pohon yang tumbuh masih kecil sehingga masih bisa ditebas memakai parang tanpa banyak kesulitan.

- Oma nguku adalah bekas kebun belum sampai 3 tahun ditinggalkan. Lahan ini masih di dominasi oleh rerumputan, ilalang dan semak perdu.

• Balingkea yaitu bekas kebun yang sudah berkurang kesuburannya dan sudah harus di istirahatkan. Meskipun begitu, lahan ini masih bisa diolah untuk tanaman palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, cabe, dan sayuran. Balingkea sudah termasuk hak kepemilikan pribadi (Dodoha).

• Pangale, yaitu kawasan hutan semi-primer yang dulu sudah pernah diolah menjadi kebun namun telah ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga telah menghutan kembali. Kawasan ini dalam jangka panjang dipersiapkan untuk dibuat lahan kebun, sedangkan datarannya untuk dijadikan sawah. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil rotandan kayu untuk bahan rumah dan keperluan rumah tangga, pandan hutan ntuk membuat tikar dan bakul, bahan batobatan, getah damar dan wewangian.

 

Sistem Penguasaan & Pengelolaan Wilayah

• Hak kepemilikan bersama (Katumpuia Hangkani) Tanah dan segala sumber daya alam yang ada di wilayah adat (huaka) termasuk tanah Desa adalah milik bersama seluruh masyarakat adat Ngata Toro mencakup wana ngkiki, wana dan pangale dengan segala yang ada di dalamnya kecuali damar yang sudah diolah oleh orang. Hak pemilikan bersama ini tidak boleh diperjual-belikan, disewakan (dikontrak) kepada siapapun juga. Hak pemilikan kolektif/komunal terbatas pada pemanfaatan yang diatur dan ditetapkan oleh lembaga adat Ngata Toro.

• Hak pemilikan pribadi/individu (Katumpuia Hadua) Tanah dan segala sumber daya alam dalam kawasan tertentu dapat menjadi milik pribadi/individu apabila sudah dikelola sebagai lahan pertanian. Umumnya pemilikan ini atas nama yang membuka pertama kali hutan di situ yang disebut dengan “popangalea”. Semua lahan yang dikuasai melalui popangalea disebut “dodoha”. Dasar pemilikan yang lain adalah hasil pembelian (raiadai), internal, pemberian secara cuma-cuma (ahirara) dan yang diminta (perapi). Milik pribadi mencakup pahawa pongko, oma, balingkea, dengan segala yang ada di dalamnya dan damar di wana.

 

Kelembagaan Adat

Nama    Ngata Toro

Struktur               - Maradika - Totua Ngata - Tina Ngata - Huro ngata - Tondo Ngata

Tugas dan Fungsi Pemangku Adat

Ketiga kepengurusan tersebut dipilih melalui pertemuan kampung berdasarkan garis keturunan.

a. Maradika

Mengatur hubungan ngata (kampung) dengan ngata lain yang disebut ”Hintuwu Ngata”, Menentukan perang dengan ngata lain, tempat pengambilan keputusan terakhir. Kalau dimasa sekarang ini Maradika adalah Kepala Kampung.

b. Totua Ngata

Mengatur dan mengawasi aturan adat yang disepakati dalam musyawarah, Memimpin dan melaksanakan setiap upacara adat, menentukan besar kecilnya sanksi adat atas pelanggaran, memimpin sidang menyangkut penyelesaian perselisihan pada tingkat dusun atau kampung, mengatur pelaksanaan perkawinan adat serta menentukan besar kecilnya mas kawin menurut keturunan dari keluarga yang bersangkutan.

c. Tina Ngata

Perancang pekerjaan dalam pertanian, pendingin artinya jika ada konflik dan dalam kampung kalau ada perempuan biasanya hal yang begitu tegang sekalipun cepat reda sehingga selesai dengan jalan damai.

d. Huro Ngata : Humas

e. Tondo Ngata : Keamanan

Mekanisme Pengambilan keputusan

Molibu

Hukum Adat

Aturan adat yang berkaitan dengan pengelolaan Wilayah dan Sumber daya alam

Larangan :

• Tidak diperkenankan membuka hutan atau mengolah hutan di tempat yang ada mata air

• Dilarang menebang kayu-kayuan yang ada pada palungan sungai atau kali-kali kecil yang ada dalam hutan ataupun pelungan suingai/kali kecil yang melewati pemukiman penduduk, pada saat menebang pohon tidak diperkenankan menebang habis pohon yang diketahui mempunyai khasiat obat-obatan tradisional, seperti pohon beringin dan melinjo.

• Dilarang menebang pohon/membuka lahan perkebunan di daerah kemiringan yang terjal.

• Larangan keras membuka lahan perkebunan di Wana Ngkiki dan Wana.

• Dilarang membuka kebun dibekas pangale, Oma, Balingkea, Pahawa pongko orang lain.

 

Pantangan :

• Dilarang membawa hasil hutan seperti rotan, pandan hutan, bambu mentah dalam jumlah yang banyak ke rumah melewati persawahan pada masa padi dalam keadaan berbuah.

• Dilarang mengilir rotan di sungai pada masa padi akan keluar buah, karena akan mempengaruhi keberhasilan panen (buah padi akan hampa/kurang berisi).

• Larangan membuka hutan yang diketahui ada pohon damar, dan membuka hutan sampai pada puncak gunung.

• Larangan menebang kayu yang diketahui sebagai makanan pokok burung-burung dalam hutan.

• Mampeoni : Upacara adat utk pembukaan lahan baru, sambil meletakan sesajian di area lahan yg akan dibuka.

• biasanya akan dilakukan pemotongan ayam, dan jika ayam tsb empedunya pica maka pembukaan lahan tdk akan dilanjutkan atau biasanya hatih ayam diketemukan Hatinya hanya satu maka tdk akan dilanjutkan.

 

Aturan Adat terkait Pranata Sosial

• Kasus pencurian : Menurut aturan adat Toro, mencuri adalah perbuatan yang memalukan dan merusak tatanan kehidupan masyarakat. Orang yang kedapatan mencuri , dihadapkan ke peradilan adat, disertai saksi-saksi dan barang bukti yang ada. Jika perbuatan tersebut terbukti, makanya kepadanya akan diberikan sanksi adat berupa ”tiga ekor kerbau, tiga lembar kain mbesa, tiga puluh buah dulang (bahasa lokal : TOLU MPOLE, TOLU ONGU, TOLU NGKAU).

• Perselisihan antar warga : Untuk menyelesaikan kasus perselisihan, masyarakat Toro senantiasa melibatkan tua-tua adat. Tua-tua adat melakukan musyawarah adat di rumah adat (Lobo), dengan menghadirkan keduabelah pihak tua-tua adat dari warga yang bertikai. Yang melakukan Tindakan perselisihan lebih dahulu akan mendapatkan sanksi adat dengan menyediakan seekor hewan seperti kerbau atau sapi (Motinuwui) dan disembellih untuk dikonsumsi saat pelaksanaan pesta perdamaian yang dihadiri oleh dua belah pihak warga yang bertikai.

 

Contoh Keputusan dari penerapan Hukum Adat

Menghamili di luar nikah ( Nampopo tiana Ana Do) : Perbuatan seks di luar nikah merupakan hal yang sangat memalukan bagi orang Toro. Perbuatan ini biasanya didasari oleh cinta sehingga dilakukan sukasama suka. Kadang-kadang perbuatan aib ini baru ketahuan setelah si wanita hamil, namun ada juga yang terungkap sebelum hamil yaitu perbuatan kepergok oleh orang lain (tertangkap basah) sehingga dialporkan ke pemangku adat. Pemangku adat yang mendapat laporan adanya wanita hamil di luar nikah atau dua insan yang kepergok perbuatan mesum akan mengambil tindakan dengan melakukan musyawarah yang menghadirkan wanita dan pria tersebut beserta orangtua keduabelah pihak dan saksi-saksi. Dalam proses peradilan ini diputuskan untuk meminta pengakuan kedua orang tersebut, apabila si pria mengingkari perbuatannya maka ia akan dikenai sanksi adat berupa membayar lunas sebesar mahar si wanita dan menyediakan hewan korban penebus salah (Moraa Eo) dan tidak diperkenankan untujk menemui wanita itu lagi. Jika ia kedapatan menemui wanita itu lagi maka kepadanya akan dikanakan sanksi adat yang lebih berat.


Sumber : https://brwa.or.id/wa/view/NTFRLWRhQlZvSFU

Sejarah Singkat Masyarakat Adat ONA ( Lewara )

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Masyarakat Adat Ona merupakan rumpun suku Kaili Da’a yang dulunya menjerat hewan buruan dan bercocoktanam Padi Koyo dan Pulut dengan ladang berpindah di wilayah Gunung Ulujadi atau yang dikenal sebagai Gunung Kamalisi saat ini atau yang disebut orang Belanda sebagai Gunung Gawalise. Dituturkan secara lisan bahwa Masyarakat Adat Ona adalah yang tertua dari rumpun suku Kaili Da’a yang disebut sebagai To Ulujadi atau Ulunggatoka Pinandu – Ongunja Poamaya. Masyarakat Adat Ona mempercayai bahwa dari puncak Ulujadi-lah awal dari kehidupan manusia. Hal itu disimpulkan dari ujaran Ulunggatoka Pinandu – Pinandu: Tananilemo Nggari Tanah Pinandu yang artinya “diciptakan dari tanah, adalah tanah yang (digenggam-dibentuk) dijadikan manusia”. Menurut Masyarakat Adat Ona, Pinandu itu pulahlah nama orang yang diciptakan dari tanah tersebut. Kemudian, dibentuklah dari tulang rusuk Pinandu itu diciptakan perempuan pertama yang disebut “Usukei” (tulang rusuk kiri). Pada perkembangannya, Masyarakat Adat Ona mempercayai bahwa sistem dan aturan adat diciptakan oleh orang-orang yang mereka sebut sebagai Tomanuru (orang suci) dan Tobarakah (orang sakti yang suci). Sistem dan aturan adat itu kemudian dimapankan oleh para Ntina atau pemimpin masyarakat dan berpusat di sebuah tempat yang dinamakan Bantaya.

 

Dituturkan selanjutnya, bahwa pada tahun 1865 dilantiklah dua orang oleh Belanda untuk menjadi pemimpin di tanah Kaili, mereka adalah Sangabaja Sabinggalangi menjadi Kepala Suku Kaili dan Parampasi Simantana sebagai Kepala Raja Kaili. Jika Parampasi Simantana dilantik untuk menjadi Madika untuk tanah Kaili, maka Sangabaja Sabinggalangi memimpin suku Kaili yang berpusat di wilayah yang disebut sebagai Ngata Ona. Pada zaman kolonial, sekitar 700 orang dari Masyarakat Adat Ona dipekerjakan oleh Belanda untuk membuat jalan dari Kulawi sampai ke Towulu. Pada saat itu juga masuklah misionaris Inggris yang membawa ajaran Nasrani Bala Keselamatan dan diterima secara damai oleh Masyarakat Adat Ona. Sekitar tahun 1950an dibangunlah gereja dan sekolah pertama di tanah Lumbu (dusun 2 Desa Lewara). Sejak saat itu, Masyarakat Adat Ona yang bertempat tinggal di Gunung Ulujadi berpindah menuruni gunung dan membentuk pemukiman yang tersebar ke beberapa wilayah yaitu Kalantaro, Lumbu (Vuntunono), Ngge’a, dan Tamoli. Sejak saat itu, Masyarakat Adat Ona mulai mengenal cara bercocoktanam dengan berkebun dengan beberapa tanaman seperti ubi, singkong, jagung, dan lain-lain.

Pada tahun 1968, konsep Ngata pada Ona berubah menjadi Kampung. Tahun 1969 diyakini sebagai tahun terakhir masa ladang berpindah (Padi) dan berganti ke tanaman kebun atau ladang. Pada masa Kampung ini, Masyarakat Adat Ona terlibat perang antar-suku dengan wilayah lain. Pada saat itu, sesuai kesepakatan bersama orang tua adat digantilah nama Ngata Ona menjadi Ngata Lewara untuk melindungi seluruh Masyarakat Suku Da’a di Ngata Ona. Pada tahun 1971 Ngata Lewara berubah menjadi Desa Lewara yang terdiri dari 5 dusun yaitu: 1. Kalantaro, 2. Vuntuneno (Lumbu), 3. Ngge’a, 4. Tamoli, dan 5. Vatumpolelo. Menurut sejarah perkembangannya, banyak dari Masyarakat Adat Kaili Da’a Ona yang menyebar ke wilayah lain dan membentuk kampung/desa baru maupun berbaur dengan suku lain.


Batas Wilayah

Batas Barat         Desa Lumbulama, Kecamatan Banawa Selatan, Kab. Donggala.

Batas Selatan     Desa Matantimali dan Desa Soi, Kecamatan Marawola Barat.

Batas Timur        Desa Kalora dengan batas yaitu Sungai Surumana, dan Desa Doda, Kecamatan Kinovaro dengan batas di Gunung Pantapa

Batas Utara         Desa Lumbulama, Kecamatan Banawa Selatan, Kab. Donggala dengan batas yaitu Lereng Gunung Panjua, Puncak Gunung Ulujadi, Puncak Gunung Nono, Puncak Gunung Pantapa.


Sumber : DISINI


Minggu, 25 Mei 2025

Sejarah Singkat Masyarakat Adat INDE GIA WISOLO

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Suku Kaili Inde Gia yang menjadi penduduk mayoritas Desa Wisolo pada awalnya adalah kelompok-kelompok kecil berbasis keluarga yang bermukim di Boya-boya (kampung) yang tersebar di kaki Gunung Wisolo dan aliran sungai di sekitarnya. Beberapa Boya itu adalah Boya Tabaro dan Boya Parigi yang terletak di sekitar aliran Kuala Ombi (Sungai), Boya Tompu yang terletak di seberang Kuala Sambo, sedangkan Boya Wisolo, Boya Dele, Boya Barangga, Boya Kamande, dan Boya Daeruwa tersebar di kaki Gunung Wisolo. Keluarga-keluarga dari tiap-tiap Boya itu saling berinteraksi dan berkerabat serta memiliki petinggi yaitu Tetu’a Ngata yang biasa dipanggil dengan sebutan Pue. Sehari-harinya, mereka mencari penghidupan dengan berburu hewan, berladang berpindah, dan mengumpulkan hasil hutan. Pada saat berladang berpindah, Masyarakat Adat Kaili Inde Gia mendirikan pondok-pondok di dekat ladang/kebun yang disebut Lompu.

 

Masyarakat Adat Kaili Inde Gia memiliki “Cerita Tanah Segenggam” yang berisikan pembabakan sejarah yang diturunkan secara lisan kepada orang-orang tertentu. Adapun Pue yang paling diingat oleh Masyarakat Adat Kaili Inde Gia bernama Mijupau yang hidup pada zaman kolonial Belanda. Sedangkan ada dua Pue pendahulu sebelum Mijupau yang diyakini dan masih diingat yakni Pue Sompolemba (zaman kolonial) dan Rimba (sebelum zaman kolonial). Pada zaman Pue Sompolemba, Belanda mendirikan sebuah sekolah rakyat pertama di wilayah yang saat ini dikenal sebagai Desa Bobo. Selain mendirikan sekolah, Belanda juga menyebarkan ajaran Nasrani Bala Keselamatan yang akhirnya menyesuaikan dengan hukum adat secara damai. Para Pemimpin Kampung itu pada perkembangan sejarahnya dipilih oleh Madika (Raja), penguasa sebuah wilayah yang lebih luas dan terdiri dari beberapa Ngata (kampung). Selain Belanda, masyarakat Kaili Inde Gia juga berinteraksi dengan toke-toke Cina untuk urusan perdagangan damar dan rotan.

 

Sebelum tahun 1960, Madika Bengge Tai atau Bapak Datu Mamusu memindahkan Masyarakat Kaili Inde Gia dari boya-boya lama ke sebuah wilayah dataran yang saat ini dikenal sebagai Desa Wisolo dengan kepala kampung pertama yaitu Pue Mujipau. Penamaan Wisolo berasal dari nama sebuah pohon yang amat besar yang dulu banyak tumbuh di wilayah gunung. Secara bertahap anggota masyarakatt di boya-boya lama itu membangun rumah di wilayah dataran hingga pada 1960 masyarakat berpindah menetap ke pemukiman baru tersebut. Hanya 1-2 keluarga yang kini bertahan di beberapa Boya Lama seperti di Tabaro dan Parigi. Selain itu, ada juga sebagian masyarakat Kaili Inde Gia yang berpindah ke wilayah lain yaitu sebagian masyarakat Boya Parigi ke Desa Poi dan sebagian masyarakat Boya Daeruwa ke dusun Kora di Desa Sejahtera yang hidup berdampingan dengan masyarakat Kaili Da’a hingga kini. Sejak masa Pue Mijupau, tercatat 14 Kepala Kampung/Desa Wisolo hingga tahun 2018.

 

Wilayah Desa Wisolo saat ini ditempati juga oleh suku lain seperti Kaili Ledo, Jawa, Bugis, Poso, dan lain-lain. Mereka tetap terikat dengan aturan dan hak sesuai adat Kaili Inde Gia dengan penyesuaian-penyesuaian.


Batas Wilayah

Batas Barat         Desa Palintuma, Kec. Pinembani, Kab. Donggala dengan batas berupa puncak gunung Kagado, puncak gunung Lengano, puncak gunung Ntatiru, puncak gunung Lengaro II, puncak gunung Vatumputi, puncak gunung Lora, puncak gunung Rongu, puncak gunung Lengano III, dan puncak gunung Vatikanivala.

Batas Selatan     Desa Balongga dengan batas berupa jalan lokal Desa Poi dengan batas berupa Cekukan/Cikukan sungai Limba Lonja/Simondu Binge, lereng gunung Lambara, puncak gunung Tule, hulu anak sungai Sopi, Alu Taivavu, sungai Pema, puncak gunung/Bunggu Kagado

Batas Timur        Desa Sambo dengan batas berupa bekas Kuala Sambo/Binge, Uwe Mpemata, jalan ninja/jalan lokal, dan jalan Kambaroa. Desa Balongga dengan batas berupa percabangan sungai Sambo dan sungai Ombi 1, jalan lokal, Ombi 2, Ombi 4, Ombi 5, Cikukangan sungai Limba Lonja/Simondu.

Batas Utara         Desa Jono dengan batas berupa puncak gunung Vatikanivala, hulu sungai Sambo, anak sungai Mbalaya, puncak gunung Mpa’o, Bingge gunung Tobetue, hulu anak sungai Salu Mpelipo, dan jalan lokal. Desa Sambo dengan batas berupa jalur irigasi sekunder, jembatan, dan jalur irigasi lama.



Sumber : DISINI

Kamis, 22 Mei 2025

Sejarah Singkat Masyarakat Adat VAU / MABERE

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Masyarakat yang dahulunya adalah masyarakat nomaden/berpindah-pindah dari suatu tempat ketempat yang lain,dari pinembani turun ke daerah bernama vau dan masyarak tersebut menamakan dirinya masyarakat vau karena suda menempati daera vau. Masyarakat ini terus berpindah mendekati lembah dan menemukan suatu daerah yang pertama kali mereka temukan di daerah tersebut ialah bedi maka daerah tersebut mereka namakan sibedi, di sibedi tersebut mereka membuat suatu acara adat yang bernama vunja dan menebang pohon marisa untuk di buatkan suatu gendang, tetapi batang pohon tersebut tidak dapat di angkat setelah pemangku adat meminta kepada sang pencipta (no karna) batang pohon tersebut terbang kedaerah kamonji. Dengan adanya kejadian tersebut para pemangku totua adat membuat suatu musyawara adat(mosiromu) maka hasil keputusan masyarakat adat vau membuat suatu kerajaan yang bernama vau. Dan keturunanya menyebar ke 5 Ngata (kampung) sebelum kolonial masuk yaitu sibedi (Mabere), padende, porame,balane,dan uwemanje. Maka semua daerah tersebut adalah daerah vau bersarkan pembagian yang arif dan bijaksana oleh totua nu ada (orang tua adat).

 

Batas Wilayah

Batas Barat         Bulu (gunung)

Batas Selatan     Wilayah Adat Rompi Desa Bomba

Batas Timur        Lembah

Batas Utara         Binangga Matimpa.


Sumber : DISINI

Rabu, 21 Mei 2025

Masyarakat Adat Bukan Kerajaan atau Kesultanan

 Masyarakat Adat Bukan Kerajaan atau Kesultanan

”Kelompok masyarakat yang secara turun- temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup. Serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum”



Kedekatan Masyarakat Adat pada teritori/wilayah adalah karena wilayah menjadi sumber penghidupan dan kehidupan mereka, sehingga mereka akan memelihara wilayahnya/lingkungannya sebagaimana mereka menjaga kehidupannya. Bagi Masyarakat Adat, tanah, hutan, dan sumberdaya alam bukan sekadar sumber ekonomi. Tanah merupakan bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan kehidupan Masyarakat Adat. Beragam ritual adat dilaksanakan sebagai wujud relasi spiritual mereka dengan alam. Masyarakat Adat memiliki ciri khusus dalam tata kelola SDA mereka,


Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Paragraf II.

Adat adalah kelompok terkecil dalam Negara bangsa yang mengatur kehidupannya sendiri seperti yang ditengarai dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen). Karena itu Masyarakat Adat memiliki aturan adat yang mengatur dan mengikat sendi kehidupan komunitas adatnya. Bahkan Masyarakat Adat masih memiliki peradilan adat yang mengikat komunitasnya.

Sementara, kerajaan/kesultanan lahir dari gabungan beberapa kekuatan dalam masyarakat, yang kelahirannya dimungkinkan oleh peperangan atau persekutuan.

Tujuh Pertanyaan Seputar UU Masyarakat Adat

 Tujuh Pertanyaan Seputar UU Masyarakat Adat

Oleh :  Nurdiyansah Dalidjo

Perjuangan menghadirkan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (UU Masyarakat Adat) telah sejak lama dilakukan oleh AMAN bersama Masyarakat Adat di seluruh Nusantara dan banyak organisasi masyarakat sipil pendukung. Perancangan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat pertama kali dilakukan tahun 2009. Namun, sampai saat ini, mengapa Indonesia tak kunjung mensahkannya, padahal kehadiran UU tersebut bukan hanya hendak mengatasi rentetan persoalan multidimensi yang menjerat Indonesia, tetapi pula membuka peluang sebagai solusi bagi berbagai masalah, mulai dari konflik tenurial, persoalan lingkungan, hingga tantangan menjawab pembangunan yang berkelanjutan.

Lewat artikel ini, kita akan coba mengenali hal-hal tentang UU Masyarakat Adat yang penting untuk kita ketahui bersama. Pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan aspirasi Masyarakat Adat di Indonesia. Pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak Masyarakat Adat pun tak lain adalah mandat konstitusi dan perwujudan dari cita-cita Indonesia. Perjuangan menghadirkan UU Masyarakat Adat, membutuhkan dukungan kita semua.


Mari, kita coba memahami untuk kemudian bisa mendukung pengesahan RUU Masyarakat Adat!

1. Bagaimana situasi Masyarakat Adat saat ini untuk menegaskan pentingnya UU Masyarakat Adat?

Keberadaan Masyarakat Adat telah diakui dan dihormati oleh Undang-Undang Dasar 1945, terutama pada Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Namun, pada kenyataannya, negara selama ini telah absen melaksanakan mandat konstitusi itu dan justru kini terdapat 32 peraturan perundang-undangan sektoral yang digunakan untuk melegalisasi perampasan wilayah adat serta menciptakan pengakuan bersyarat yang panjang dan rumit bagi Masyarakat Adat, termasuk pembentukkan Peraturan Daerah (Perda) (UU No. 41 Tahun 1999) dan Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014). Maka, Masyarakat Adat di Indonesia terus mengalami pemiskinan dan perampasan wilayah adat yang disertai dengan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.

2. Mengapa Indonesia perlu UU Masyarakat Adat?

Masyarakat Adat seringkali menjadi sasaran atas tindakan yang cenderung rasis, diskriminatif, mengeksklusi, membatasi, serta melekatkan stigma dan stereotipe. Hal itu juga termasuk pada tindakan birokrasi dan peraturan perundang-undangan yang sektoral, parsial, tumpang tindih, bertingkat, dan membatasi. Kehadiran UU Masyarakat Adat memberikan pengakuan penuh terhadap Masyarakat Adat sebagai subjek hukum yang merupakan prasayarat dari pengakuan hak tradisional atau hak asal-usul maupun hak atas wilayah adat (tanah ulayat).

3. Apa tujuan adanya UU Masyarakat Adat?

UU Masyarakat Adat memiliki tujuan untuk mengakui Masyarakat Adat dan hak-haknya; memulihkan hubungan negara dengan Masyarakat Adat; melindungi Masyarakat Adat agar dapat hidup aman, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya serta bebas dari diskriminasi dan kekerasan; meluruskan rute pengakuan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan sektoral; memberikan kepastian hukum bagi Masyarakat Adat dalam menikmati hak tradisionalnya; serta menjadi dasar bagi pemerintah dalam melaksanakan pemulihan hak Masyarakat Adat, pemberdayaan, penyelesaian konflik, dan penyelenggaraan program-program pembangunan.

4. Apa isi dari RUU Masyarakat Adat?

Saat ini, draf RUU Masyarakat Adat berisi berbagai hal terkait dengan Masyarakat Adat, antara lain istilah dan definisi, asas dan tujuan, hak dan kewajiban Masyarakat Adat, kelembagaan (Komisi Nasional Masyarakat Adat yang Permanen di tingkat nasional dan Panitia Masyarakat Adat yang bersifat ad hoc di tingkat daerah); prosedur pengakuan Masyarakat Adat yang sederhana, berbiaya murah, tetapi legitimate; pemberdayaan Masyarakat Adat; serta hal-hal terkait tugas dan wewenang pemerintah; mekanisme penyelesaian sengketa dan konflik; restitusi dan rehabilitasi; dan lain-lain.

5. Berapa lama perjalanan RUU Masyarakat Adat di Indonesia?

RUU Masyarakat Adat telah berjalan selama lebih dari satu dekade. Perancangan draf RUU Masyarakat Adat pertama dilakukan pada 2009 oleh AMAN dan jaringan masyarakat sipil. Draf pun dilanjutkan dengan serangkaian konsultasi dan dialog dengan berbagai pihak. Tahun 2012, RUU Masyarakat Adat diusulkan ke DPR RI melalui Fraksi PDIP. Namun, tahun 2014, RUU tersebut gagal ditetapkan. Pada 2014, RUU Masyarakat Adat kembali berproses. Presiden Joko Widodo kala itu mengadopsi tuntutan Masyarakat Adat, termasuk pengesahan RUU Masyarakat Adat. Tetapi, hingga masa kepemimpinannya yang kedua, janji itu tak kunjung ditepati. Sejak 2019, inisiatif RUU Masyarakat Adat dilanjutkan oleh Nasdem. Perjuangan AMAN bersama Masyarakat Adat dan jaringan masyarakat sipil pun berlanjut untuk mendesak pengesahan RUU Masyarakat Adat yang terus menerus mengalami tantangan.

6. Apa tantangan pengesahan RUU Masyarakat Adat?

Ada berbagai tantangan yang dihadapi dalam upaya pengesahan RUU Masyarakat Adat, mulai dari kepentingan yang beragam, komitmen yang terbatas, hingga komunikasi dan partisipasi yang belum efektif. Saat ini, teks RUU Masyarakat Adat masih perlu dibahas lebih lanjut agar dapat menyentuh permasalahan dasar, tidak terjerat pada alur pengakuan pada peraturan perundang-undangan yang sektoral, terhindar dari potensi konflik masa lalu, serta mempermudah proses pengakuan.

7. Peluang apa yang diberikan UU Masyarakat Adat dalam mengharmoniskan kebijakan?

Kehadiran UU Masyarakat Adat berpotensi mengatasi masalah ketidakharmonisan peraturan prundang-undangan yang ada, di mana prosedur pengakuan Masyarakat Adat selama ini disusun oleh kebijakan yang sektoral. Proses pengakuan itu seperti jalan di tempat karena berbagai kebijakan disusun dengan paradigma yang pula sektoral. Pengesahan RUU Masyarakat Adat akan memberikan jawaban pada prosedur pengakuan Masyarakat Adat sekaligus menjadi rujukan dari berbagai program-program perlindungan, pemberdayaan, dan sebagainya bagi Masyarakat Adat. Maka, peraturan sektoral yang tumpang tindih itu tentu saja harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lewat UU Masyarakat Adat.

 


***


Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat Adat SIDOLE

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Dituturkan, dahulu kala hiduplah sepasang suami istri bernama Linduala (Genangan Air Kuasa Tuhan) dan Tandilino (Jemputan Siang). Keduanya dipercaya sebagai leluhur orang-orang Sidole hari ini. Pasangan tersebut memiliki tujuh anak yaitu:

1. Remeinta (perempuan) artinya keterangan yang jelas

2. Asalemo (laki-laki) kebersamaan

3. Intarame (perempuan) artinya jelas terang

4. Mulajadi (laki-laki) pertama ada

5. Mulahu (laki-laki) artinya mulai kerja

6. Indalara (perempuan) artinya baik hati

7. Mogundu (laki-laki) harum

Dari pasangan dan keturunannya itulah berkembanglah masyarakat adat Sidole. Kata Sidole sendiri diambil dari nama pohon kayu yang ada di wilayah adat yang sering disebut dengan Toriomog.

 

Remeinta dan Intarame mendapat jodoh dari Suku Mandar dan Suku Bugis sehingga mereka mengikuti suami mereka hidup di kampung halamannya. Adapun Lasalemo, Mulajadi, dan Mulahu pergi merantau ke pantai barat, tanah bugis, dan sebagainya sehingga munculah somba ri goa (rumah dalam goa) mangkao ri bone 9 raja di bone pajung ri luwu sompa raja tana kaili.

 

Indalara dan Mangundu menetap tinggal di kampungnya dan menikah dengan nuru sakit maga dengan mengunakan adat kayori yang berasal dari keturunan indolara serta ditambah dengan keturunan saudara-saudara mereka pulang dari merantau di negeri orang sampai ke kampung halamannya.

 

Pada sekitar tahun 1695 nama sebutan toriomog diganti oleh Belanda menjadi “Torilore” yang artinya “orang bodoh.” Dituturkan sekitar tahun 1928, masyarakat adat Toriomog Sidole yang saat itu berlokasi di Nabaliang dipindahkan oleh Belanda untuk berkumpul di lokasi yang disebut Kinta Koso yang saat itu belum berpenghuni. Pada saat penjajahan Jepang, Pendidikan mulai masuk dan wilayah adat saat itu disebut sebagai “kampoeng”. Pada sekitar tahun 1975 wilayah kampung itu berubah lagi menjadi desa sehingga menjadi Desa Sidole. Seiring perkembangan zaman, wilayah Desa Sidole mekar menjadi Desa Tombi dan Desa Tanampedagi di tahun 2007. Pada tahun 2011 Desa Sidole kembali mekar menjadi Desa Sidole Brat dan Desa Aloo. Pada tahun 2013, terjadi pemekaran lagi menjadi Desa Sidole Timur dan Desa Pangku.

Kodisi wilayah masyarakt adat Komunitas Sidole saat ini, telah terjadi perselisihan antara masyarakat Desa Ampibabo dengan masyarakat Desa Sidole. Karena masyarakat Desa Ampibabo mengklaim bahwa lokasi pegunungan yang tepat berada di atas Desa Sidole adalah milik masyarakat Ampibabo yang akan dijadikan lahan perkebunan Porang. Saat ini telah dilakukan sosialisasi oleh pihak perusahaan porang. Selain itu wilayah adat Sidole tepatnya di Desa Alo,o akan dijadikan lokasi tambang emas. Saat ini telah di lakukan sosialisasi oleh perusahaan pengelola tambang dan bahkan sampai dengan tawar menawar harga lahan perkebunan. Respon masyarakat terkait dengan hal tersebut kemudian melakukan pertemuan yang juga melibatkan pemuda untuk melakukan penolakan terhadap rencana pembukaan lahan tambang di Desa Aloo.


Sumber : DISINI

 

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat LUMBU LAMA / KASOLOA

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Masyarakat yang mermukim di ngata lumbulama adalah masyakat adat suku da’a yang tidak lepas dari sejarah asal usul orang kamalisi atau to ulujadi sebagai penghuni wilayah adat yang begitu luas serta melakukan pembagian kewilayaan keadatan sesui dengan musyawarah (mosiromu/potangara) pembagian hak-hak atas keulayakan keadatan tersebut.

Dalam perkembangan manusia ini, orang da’a memprcayai belum ada adat atau aturan yang mengatur adat dalam kehidupan manusia nanti setelah diciptakannya orang yang mereka sebut sebagai “Tomanurung – Tobarakah “ dari sinilah barulah mereka mengenal system adat, yang kini tetap di jaga. Lumbulama yang secara hokum adatpun masih berpatron pada kepimimpinan ngata adat dombu (saudara).


Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat Adat TORO

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Komunitas Toro yang sekarang dikenal dengan Ngata Toro terbentuk pada 1950-an, yaitu pada saat kedatangan orang Rampi dalam jumlah yang cukup besar. Perpindahan itu terjadi ketika berlangsungnya pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar pada awal tahun 1950-an di Propinsi Sulawesi Selatan. Masuknya orang Rampi secara bergelombang ini telah meningkatkan jumlah kelompok masyarakat ini di Toro. Namun, keragaman kelompok masyarakat di Toro tidak terbatas pada orang Rampi semata. Pada akhir 1960-an, Toro kembali menampung migrasi kelompok masyarakat Uma yang berasal dari Kulawi bagian barat. Berbeda dari pola migrasi sebelumnya, kedatangan orang Uma ke Toro ini merupakan bagian dari proyek pemukiman kembali(resettlement) yang dilakukan secara paksa oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap terasing dan terbelakang. Dengan sejarah demografi ini, maka komposisi penduduk Toro saat ini terdiri atas tiga kelompok dominan, yaitu orang Moma sebagai penduduk asli dengan jumlah mayoritas, orang Rampi dan Uma sebagai etnis pendatang yang jumlahnya juga cukup signifikan. Yang menarik, keragaman kelompok masyarakat ini ternyata telah menciptakan struktur pemukiman yang terdistribusi menurut kelompoknya sehingga menciptakan boya-boya (dusun-dusun) dengan komposisi penduduk yang secara etnis relatif homogen. Orang Moma terkonsentrasi di Boya 1, 2, 3 dan sebagian Boya 4 sedangkan orang Rampi di Boya 5 dan 7 dan orang Uma terpusat di Boya 6 Meskipun keragaman kelompok masyarakat di Toro ini membentuk pola pemukiman yang saling terpisah, namun keragaman ini dalam derajat tertentu telah dirajut oleh ikatan-ikatan kekerabatan dan yang telah dimapankan oleh rasa saling hormat menghormati dan saling menghargai antara penduduk asli dan penduduk pendatang. Semua orang Toro menyebut diri dengan ‘kami adalah masyarakat Toi Toro’.

 

Mitos asal-usul memiliki kedudukan yang penting di masyarakat Toro dan amat sentral bagi proses identifikasi kelompok dan penumbuhan kesadaran akan kesatuan dan sekaligus perbedaan. Proses identifikasi semacam ini merupakan hal yang amat perlu bagi masyarakat Toro, terutama untuk memproduksi pranata sosial yang ada dengan melibatkan segenap unsur di masyarakat Toro. Dengan demikian, meskipun mitos mengisahkan kejadian-kejadian yang tidak biasa ditemui di dunia nyata, mitos bukanlah cerita kosong belaka tanpa makna. Mitos di Toro merupakan merupakan unsur yang menggambarkan ”angan-angan sosial” yang ikut membentuk identitas pada kelompok dan makna pada sejarahnya. Angan-angan sosial tersebut terbangun dari berbagai unsur peristiwa nyata, realitas sosial, dan lingkungan fisik kelompok yang bersangkutan. Suatu pernyataan mitos tentang kejadian masa lampau berfungsi sebagai “cerminan bagi kehidupan masa kini”.

 

Ada tiga mitos yang hidup di tengah masyarakat Toro yang menjelaskan tentang asal-usul dan identitas kolektif mereka. Dalam bahasa Kulawi Moma kata ‘Toro’ berarti ‘sisa’. Pengertian ini mengacu pada suatu wilayah yang ditinggal pergi oleh penduduknya sehingga telah menjadi hutan belantara dan bukan merupakan pemukiman lagi. Selain itu, juga mengacu pada pelarian sisa-sisa penduduk kampung Malino yang akhirnya menempati wilayah yang telah ditinggalkan tadi. Kedua mitos ini saling berkaitan dan dirajut oleh mitos ketiga tentang kegiatan berburu “Balu” (bangsawan Kulawi). Ketiga mitos ini secara bersama-sama saling terjalin erat sebagai kisah terbentuknya komunitas Toro. Berikut ini adalah narasi dari ketiga mitos yang hidup di tengah – tengah masyarakat Toro akan diuraikan pada bagian berikut ini.

• Mitos tentang tempat. Mitos pertama ini mengisahkan tentang lokasi yang sekarang ini membentuk Ngata Toro. Dikisahkan tentang riwayat tempat ini yang semula didiami oleh etnis Uma. Bencana banjir besar dan longsor menyebabkan tempat ini ditinggalkan oleh penduduknya. Tempat pemukiman itu kemudian berubah menjadi danau setelah terjadinya banjir besar itu. Konon kisah terjadinya banjir di awali dengan pertengkaran dua kakak beradik yang memperebutkan tambur emas (karatu bulawa). Salah satu dari mereka yang bertengkar memotong kaki kucing, kemudian dipakai untuk menabuh tambur tersebut dengan sekeras kerasnya. Padahal kucing dianggap hewan keramat yang menurut kepercayaan tidak boleh dimandikan, apalagi sampai diusik dan disakiti. Diyakini, tindakan semacam itu akan mendatangkan bencana besar. Tidak lama setelah pemotongan kaki kucing, menjelang sore hari, hujan mendadak turun dengan derasnya disertai angin ribut dan bunyi petir yang meledak-ledak. Kegelapanpun meliputi pemukiman, pohon-pohon mulai bertumbangan, tanahpun mulai longsor. Ini berlangsung selama tiga hari tiga malam. Akhirnya pemukiman ini hancur lebur dilanda bencana alam dan menjadi sebuah danau.

• Kisah pelarian orang Malino Berbeda dengan mitos pertama yang mengisahkan riwayat sebuah tempat, mitos kedua menceriterakan tentang penduduk Malino yang diserang oleh makhluk halus sehingga melarikan diri dari kampungnya. Para pelarian Malino inilah yang membentuk satu perkampungan baru yang dikenal dengan nama Toro yang sekarang. Konon kisahnya diawali dengan permainan gasing antara anak-anak penduduk Malino dengan anak orang bunian. Anak-anak bunian menggunakan gasing dari emas dan gasing anak-anak Malono dikalahkan semuanya. Anak-anak Malino melapor kepada orang tuanya bahwa tadi siang mereka bermain gasing dengan orang yang tidak dikenal. Gasing mereka semuanya berwarna kuning mengkilap, demikian pula anak-anak tak dikenal tersebut. Keesokan harinya orang tua dari anak-anak penduduk Malino membunuh anak yang memakai gasing emas dan mengambil gasing emasnya. Sore setelah peristiwa itu terdengar suara yang bergemuruh seperti orang yang sedang berperang. Namun, tidak ada siapapun yang terlihat selain parang dan tombak yang beterbangan menyerang. Sadarlah orang Malino bahwa mahluk halus telah datang menyerang untuk menuntut balas atas kematian anaknya. Penduduk Malino tercerai berai karena tidak mampu melawan para penyerang yang tidak kelihatan. Sebagian besar penduduk Malino terbunuh dan hanya 7 rumah tangga yang berhasil selamat pergi mengungsi ke tempat lain. Para pelarian dari Malino ini lantas membuka hutan dan membangun pemukiman, bertani hingga membentuk satu perkampungan yang mereka beri nama Toro atau yang tersisa menurut dialek Moma.

• Kisah penguasaan tempat

Mitos ketiga ini menuturkan aktivitas berburu Balu, seorang bangsawan Kulawi. Balu, seorang Maradika (bangsawan) Kulawi, yang memerintah saat itu, dikenal sebagai orang yang gemar berburu. Tidak puas dengan tempat yang sudah pernah didatangi, ia pun pergi menjelajah gunung-gunung dan lembah-lembah baru untuk mencari tempat perburuan. Akhirnya ia menemukan lembah yang amat subur karena terbentuk dari danau yang telah surut. Tempat ini adalah bekas pemukiman pada masa lampau yang ditinggalkan karena bencana alam. Kemudian Balu mengajak orang pelarian dari Malino untuk melihat-lihat lokasi perburuan yang ditemukannya. Setelah melihat-lihat keadaan di sana dan merasa cocok, maka terjadi tawar menawar antara Balu dan Mpone, si pemimpin rombongan pelarian. Dicapailah kesepakatan untuk membeli lembah dan gunung-gunung yang ada di sekitarnya dengan harga tujuh gumpal emas sebesar burung pipit. Lokasi terjadi kesepakatan jual beli itu kelak di belakang hari disebut Kaputua yang berarti tempat mencapai keputusan. Setelah transaksi, para pelarian Malino kemudian tinggal di tempat ini dan berkembang kian banyak. Lama kelamaan tempat ini dikenal dangan nama “Toro” karena didiami pelarian sisa-sisa orang dari Malino. Sejarah panjang komunitas Toro dengan lingkungannya telah membentuk suatu lanskap budaya dan stabilitas ekologis yang mantap. Hal ini tercermin baik pada aras pranata sosialbudaya maupun sistem pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat pada komunitas ini.

Hak atas tanah dan pengelolaan Wilayah

Pembagian ruang menurut adat

• Wana Ngkiki, yaitu kawasan hutan primer di puncak gunung yang sebagiannya didominasi oleh rerumputan, lumut dan perdu. Kawasan ini dianggap amat penting sebagai sumber udara segar (winara), dan tidak boleh dijamah aktivitas manusia. Dalam kawasan Wana Ngkiki ini tidak terdapat hak

• Wana, yaitu hutan primer di sebelah bawah Wana ngkiki yang merupakan habitat hewan dan tumbuhan langka, dan sebagai kawasan tangkapan air. Karena itu, di area ini dilarang membuka lahan pertanian karena bisa menimbulkan bencana alam. Wana hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian dan obat-obatan, serta rotan. Kepemilikan pribadi (Dodoha) di dalam kawasan ini hanya berlaku pada pohon damar yang penentuannya tergantung pada siapa yang pertama kali mengolahnya. Sementara sumber daya alam yang selebihnya merupakan hak penguasaan kolektif sebagai bagian ruang hidup dan wilayah kelola tradisional masyarakat (Huaka).

• Pahawa pongko yaitu, campuran hutan semi-primer dan sekunder merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama sekitar 25 tahun atau lebih sehingga sudah menyerupai pangale. Pohonnya sudah besar, jadi untuk menebangnya sudah harus menggunakan pongko (pijakan yang terbuat dari kayu) yang cukup tinggi agar dapat menebangnya dengan mudah. Penebangan pada tempat yang agak tinggi ini dimaksudkan agar tunggulnya bisa bertunas kembali ( karena itu disebut pahawa yang berarti “pengganti“). Seperti halnya pangale, kawasan ini juga tidak tercakup dalam hak pemilikan pribadi terkecuali pohon damar yang ada di dalamnya.

• Oma yakni hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem perladangan bergilir. Oleh karena itu, pada kategori ini sudah melekat hak kepemilikan pribadi (Dodoha) dan tidak berlaku lagi kepemilikan kolektif (Huaka) karena lahan ini merupakan areal yang dipersiapkan untuk diolah lagi menurut urutan pergilirannya. Urutan pergiliran ini membentuk tiga kategori Oma yaitu:

- Oma ntua, apabila lahan ini dibiarkan selama 16 hingga 25 tahun, mengingat usianya, jenis ini sudah tua sehingga tingkat kesuburan tanahnya sudah pulih dan dapat diolah

- Oma ngura, yaitu kategori yang lebih muda karena dibiarkan selama 3 hingga 15 tahun. Lahan ini didominasi rerumputan dan belukar. Pohon-pohon yang tumbuh masih kecil sehingga masih bisa ditebas memakai parang tanpa banyak kesulitan.

- Oma nguku adalah bekas kebun belum sampai 3 tahun ditinggalkan. Lahan ini masih di dominasi oleh rerumputan, ilalang dan semak perdu.

• Balingkea yaitu bekas kebun yang sudah berkurang kesuburannya dan sudah harus di istirahatkan. Meskipun begitu, lahan ini masih bisa diolah untuk tanaman palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, cabe, dan sayuran. Balingkea sudah termasuk hak kepemilikan pribadi (Dodoha).

• Pangale, yaitu kawasan hutan semi-primer yang dulu sudah pernah diolah menjadi kebun namun telah ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga telah menghutan kembali. Kawasan ini dalam jangka panjang dipersiapkan untuk dibuat lahan kebun, sedangkan datarannya untuk dijadikan sawah. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil rotandan kayu untuk bahan rumah dan keperluan rumah tangga, pandan hutan ntuk membuat tikar dan bakul, bahan batobatan, getah damar dan wewangian.


Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat Adat TO BADA ( BULILI )

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Sekitar abad XV Masehi di satu tempat yang bernama Tinoe, hidup orang sekelompok orang di bawah pimpinan seorang pemuda yang bernama Rabili. Komunitas mereka dalam bahasa Badanya disebut Boea, Rahili adalah anak dari Rawintu. Setiap hari pekerjaan mereka adalah berburu binatang. Suatu hari Rabili menemukan satu bukit yang indah untuk tempat bermukim, maka diajaknyalah teman-temannya untuk pindah ke tempat itu, yang di beri nama Bulili. Pemberian nama ini dilatarbelakangi oleh hidup mereka yang berkeliling (Mambubulili) dari satu tempat ke tempat yang lain untuk berburu binatang, Selanjutnya Rabili juga menemukan satu bukit yang dijadikannya sebagai tempat penyembahan, karena di bukit itu hidup satu pohon Beringin yang sangat besar. Bukit itu di beri nama Powalia, Namun pada akhirnya Rabili sepakat untuk menebang pohon Beringin itu, dan di butuhkan 7 hari untuk proses penebangan pohon tersebut. Setelah pohon itu tumbang, kembali mereka melaksanakan ritual dalam bahasa Bada disebut Mowalia. Anehnya, ketika pohon itu tumbang muncul 7 nama tempat, sesuai dengan jumlah dahan pohon Beringin tersebut, yaitu Panto, Lanti, Kaladuna, Piore, Kahabu'a, Lento, dan Pakawa, Setelah itu, Rabili membuat Duhunga yaitu bangunan yang terbuat dari kayu dengan model perau sebagai tempat tinggalnya pada saat itu pula datanglah seorang yang bemama Manuru mempersunting putri dari Rabilli. Buah kasih perkawinan mereka melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Lapabada, selanjunya Lapabada melahirkan 3 orang anak yang diberii nama Lapadandi, Lapalando, Longki.

 

Zaman terus berkembang masyarakat Bulili terus menyebar dan pemimpipun bergantian untuk memimpin kampung Bulili. kalau dulu kampung Bulili dikenal dengan kepercayaan animisme yang sangat kuat tapi sekarang mnsyarakat Bulili telah memegang teguh kepercayaan iman masing-masing sesuai agamanya.


Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat Adat PANTAPA

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Pantapa adalah salah satu Sub komunitas masyarakat adat yang ada di wilayah ke adatan besar Kamalisi Sulawesi Tengah yang kini pada umumnya bermukim diwilayah lereng dan pegunungan Kamalisi.

Komunitas masyarakat adat Pantapa tersebut memiliki sejarah yang sama dan mereka hidup dari satu komunitas lainnya yang cukup besar di kamalisi secara adminitrasi berada di wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Kota Madya Palu, bahkan wilayah adatnya kamilisi sampai kewilayah adminitrasi provinsi Sulawesi Barat.

Wilayah Pantapa berasal dari kebiasaan masyarakat yang pertama kali mendiami Kampung Tua bagian gunung kamilisi dengan cara menghangatkan diri dekat api di sebut NO TAPA. Sistem kepemimpinan di wilayah adat pantapa itu sendiri pemimpin tertinggi di sebut ntina.Masyarakat adat kamilisi memilih mogau dengan mosiromu (musyawarah) dan menempatkan mogau tersebut diwilayah yang ditunjuk oleh ntina.


Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat Adat VUGAGA

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Vugaga adalah salah satu Sub komunitas masyarakat adat yang ada di wilayah ke adatan besar Kamalisi Sulawesi Tengah yang kini pada umumnya bermukim diwilayah lembah,lereng dan pegunungan Kamalisi.

Komunitas masyarakat adat Vugaga tersebut memiliki sejarah yang sama dan mereka hidup dari satu komunitas lainnya yang cukup besar di kamalisi secara adminitrasi berada di wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Kota Madya Palu, bahkan wilayah adatnya kamilisi sampai kewilayah adminitrasi

provinsi Sulawesi Barat. Dalam pengetahuan literatur antropologi dan etnokologi komunitas besar di Wialyah Adat Kamalisi tersebut adalah bahagian dari sub etnis kaili terdiri dari etnis Unde,Inde Tado dan Da’a. tapipada umumnya di sub kewilalayaan komunitas vugaga adalah menggunakan bahasa/suku da’a.

 

 

Vugaga secara kewilayaan adat berdasarkan pembagian Madika dombu (raja) atas saudaranya di wilayah adat poni

pembagiaan wilayah adat ini berdasarkan untuk mengontrol serta mengawasi aktivitas komunitas yang begtu banyak menyebar di tempat-tempat dimana ada potensi dapat dikelolah untuk menafkai demi keberlangsungan hidup berdasarkan kearifan lokal.


Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat Adat KAILI INDE GIA WISOLO

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Suku Kaili Inde Gia yang menjadi penduduk mayoritas Desa Wisolo pada awalnya adalah kelompok-kelompok kecil berbasis keluarga yang bermukim di Boya-boya (kampung) yang tersebar di kaki Gunung Wisolo dan aliran sungai di sekitarnya. Beberapa Boya itu adalah Boya Tabaro dan Boya Parigi yang terletak di sekitar aliran Kuala Ombi (Sungai), Boya Tompu yang terletak di seberang Kuala Sambo, sedangkan Boya Wisolo, Boya Dele, Boya Barangga, Boya Kamande, dan Boya Daeruwa tersebar di kaki Gunung Wisolo. Keluarga-keluarga dari tiap-tiap Boya itu saling berinteraksi dan berkerabat serta memiliki petinggi yaitu Tetu’a Ngata yang biasa dipanggil dengan sebutan Pue. Sehari-harinya, mereka mencari penghidupan dengan berburu hewan, berladang berpindah, dan mengumpulkan hasil hutan. Pada saat berladang berpindah, Masyarakat Adat Kaili Inde Gia mendirikan pondok-pondok di dekat ladang/kebun yang disebut Lompu.

 

Masyarakat Adat Kaili Inde Gia memiliki “Cerita Tanah Segenggam” yang berisikan pembabakan sejarah yang diturunkan secara lisan kepada orang-orang tertentu. Adapun Pue yang paling diingat oleh Masyarakat Adat Kaili Inde Gia bernama Mijupau yang hidup pada zaman kolonial Belanda. Sedangkan ada dua Pue pendahulu sebelum Mijupau yang diyakini dan masih diingat yakni Pue Sompolemba (zaman kolonial) dan Rimba (sebelum zaman kolonial). Pada zaman Pue Sompolemba, Belanda mendirikan sebuah sekolah rakyat pertama di wilayah yang saat ini dikenal sebagai Desa Bobo. Selain mendirikan sekolah, Belanda juga menyebarkan ajaran Nasrani Bala Keselamatan yang akhirnya menyesuaikan dengan hukum adat secara damai. Para Pemimpin Kampung itu pada perkembangan sejarahnya dipilih oleh Madika (Raja), penguasa sebuah wilayah yang lebih luas dan terdiri dari beberapa Ngata (kampung). Selain Belanda, masyarakat Kaili Inde Gia juga berinteraksi dengan toke-toke Cina untuk urusan perdagangan damar dan rotan.

 

Sebelum tahun 1960, Madika Bengge Tai atau Bapak Datu Mamusu memindahkan Masyarakat Kaili Inde Gia dari boya-boya lama ke sebuah wilayah dataran yang saat ini dikenal sebagai Desa Wisolo dengan kepala kampung pertama yaitu Pue Mujipau. Penamaan Wisolo berasal dari nama sebuah pohon yang amat besar yang dulu banyak tumbuh di wilayah gunung. Secara bertahap anggota masyarakatt di boya-boya lama itu membangun rumah di wilayah dataran hingga pada 1960 masyarakat berpindah menetap ke pemukiman baru tersebut. Hanya 1-2 keluarga yang kini bertahan di beberapa Boya Lama seperti di Tabaro dan Parigi. Selain itu, ada juga sebagian masyarakat Kaili Inde Gia yang berpindah ke wilayah lain yaitu sebagian masyarakat Boya Parigi ke Desa Poi dan sebagian masyarakat Boya Daeruwa ke dusun Kora di Desa Sejahtera yang hidup berdampingan dengan masyarakat Kaili Da’a hingga kini. Sejak masa Pue Mijupau, tercatat 14 Kepala Kampung/Desa Wisolo hingga tahun 2018.

 

Wilayah Desa Wisolo saat ini ditempati juga oleh suku lain seperti Kaili Ledo, Jawa, Bugis, Poso, dan lain-lain. Mereka tetap terikat dengan aturan dan hak sesuai adat Kaili Inde Gia dengan penyesuaian-penyesuaian.


Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat adat PEBATO LIPU SULEWANA

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

To Pebato merupakan salah satu suku asli yang kebanyakan menempati wilayah Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. To Pebato merupakan salah satu sub suku dari sekian banyak sub-suku Bare’e.

 

Menurut keterangan tokoh masyarakat adat Pebato Lipu Sulewana, Pebato sendiri memiliki makna “Menumpas Lawan/Musuh”. Dahulu To Pebato (Orang Pebato) bermukim di puncak Gunung Umbongi yang berjarak 3 KM dari pemukiman di Desa Sulewana saat ini. Konon, ketika itu musuh sering kali menjarah dan menyerang mereka. Olehnya, di Gunung Umbongi mereka membuat benteng pertahanan dari kayu yang mengelilingi gunung tersebut dan hanya membuat satu gerbang sebagai akses masuk dan keluar. dikarenakan tempat yang strategis saat terjadi peperangan, mereka dengan mudah menumpas lawan yang berada dibawah. Oleh sebab itu pula, gunung Umbongi lebih dikenal dengan sebutan Gunung Pebato.

 

Menurut catatan sejarah, pada era penjajahan wilayah ini dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mulai memperkenalkan Agama Kristen kepada To Pebato oleh teolog dan misionaris Belanda, A.C.Kruyt dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) pada tahun 1892 serta Nicolaus Adriani dari Nederlands Bijbelgenootschap pada tahun 1895. Pembaptisan pertama kali dilaksanakan pada tahun 1892. Pembaptisan ini dilakukan kepada Kepala Suku Pebato Papa I Wunte dan Ine I Maseka bersama dengan sekitar seratus orang pengikutnya sekitar pada tahun 1901-1907.

 

Sebelum adanya Lipu Sulewana, komunitas ini dulunya berasal dari beberapa lokasi yang berada di pegunungan Umbongi yang terdiri dari beberapa kelompok keluarga hingga membentuk satu perkampungan yang bernama Lipu Mara’ayo adapun kelompok tersebut adalah :

 

1. Mowumbu

2. Batunoncu

3. Lipu ri Tongo

4. Ncarao

5. Kasiro

6. Tamungku

7. Waroe

8. Buyu Ganda

9. Lambagu

10. Mo’api

Hingga pada tahun 1933-1934, masyarakat yang bermukim di kampung Mara’ayo pindah ke Lipu Sulewana sekarang.

 

Sulewana sendiri berasal dari dua nama lokasi pemukiman penduduk, yaitu Sule berasal dari Sulempebayong dan Wana dari Tarawana. Kemudian disatukan menjadi Sulewana. Mereka yang bermukim di dua lokasi adalah yang berasal dari Lipu Mara'ayo (Gunung Pebato), yang terletak kurang lebih 3 km ke arah utara Lipu Sulewana. Perpindahan masyarakat itu dilakukan secara bertahap, dimulai pada tahun 1933 hingga pada puncaknya bulan agustus-oktober 1934 bersamaan dengan setelah selesainya masa panen padi ladang.

 

Berikut adalah daftar Kepala Kampung dan Kepala Desa di Sulewana:

Lipu Mara’ayo :

1. Ngkai Meringgi

2. Ngkai Djepa

3. Papa Nuki

4. Ngkai M. To’o

Pindah Lipu Sulewana :

1. Ngkai M. To’o

2. Balanda Talaku

3. Tarudju Ganta Lemba

4. Manggalita Penda

5. Djanggo Patade

6. Besunggu Kalingani

7. Lena Nto’o

8. Heni Meringgi

9. Lena Nto’o

10. Poipu Laparaga

11. Lamindu Kawanga

12. Ali Kope

Kepala Desa :

1. Eno Purasongka

2. Banti Tenggili

3. Yafet Ponsedo

4. Kurias Sagiagora

5. Paulus Baduge

6. Rantu Kamboli

7. Dasmin Ndo’o

8. Rantu Kamboli

9. Edison Kawanga

10. Redi Tanambo

11. Yus Rombot

12. Patrian Liudongi

13. Redi Tanambo

14. Exan Tanombo

15. Gilbert Kaose, S.E, M.M

16. Sunbiulu

17. Hermin Mira (PJS)


Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat adat TO BADA

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Bagi orang yang tinggal di lembah dan di daratan bada dikenal dengan sebutan photo towia tampo ada to bada. Tak ada satupun alasan yang didapat tetapi dari berbagai analisa historis dalam kepercayaan hukum adat, tobada menurutcerita orang terdahulu sebelum masyaraka berada di desa bomba, nenek moyang mereka mengatakan bahwa mereka tinggal di sebuah kampung tua yang bernama Kinta Hambali dan dipimpin oleh Langke Bulawa. Di sanalah mereka tinggal bersama nenek moyang . Setelah beberapa tahun terjadi perpecahan kepala keluarga yang mengakibatkan mereka berpindah ke sebuah desa padan, yaitu desa Bomba. Di sanalah mereka bercocok tanam hingga saat ini.


Batas Wilayah

Batas Barat         Desa Pada

Batas Selatan     Sungai Malei

Batas Timur        Desa Tonusu

Batas Utara         Desa Lelio/ Sungai Lairiang



Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat adat KAILI LEDO RARANGGONAU

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Asal-usul Masyarakat Kaili Ledo dikisahkan sebagai orang-orang yang berburu di hutan yang berlokasi di Gunung Lando dan berpindah-pindah di wilayah sekitarnya. Mereka amat menyukai meminum Tule (Saguer), minuman yang terbuat dari buah Enau. Mereka kemudian menemukan sebuah tempat yang banyak ditumbuhi oleh Pohon Enau dan memutuskan untuk menetap di tempat yang saat ini disebut sebagai Gunung Sigirayo yang kemudian ditanami banyak Maku (pohon jambu air). Seiring waktu, penduduk bertambah maka ditetapkanlah pemukiman yang saat ini dikenal sebagai kampung Raranggonau atau “Kampung di dalam Buah Enau.”

Orang-orang yang bermukim di kampung Raranggonau itu kemudian bertumbuh dan menjadi cikal bakal dari rumpun etnis “Kaili Ledo”. Masyarakat Raranggonau pada awalnya hidup dengan berpegang pada hukum adat Kaili Ledo yang dikembangkan oleh para Madika (pemimpin). Adat itu menncakup pada hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antar-masyarakat dan juga tata cara mengelola serta menguasai sumber daya alam.

Seiring berjalannya waktu, datanglah orang-orang Tobula Mata (Orang Putih) yaitu misionaris dari Inggris yang mengenalkan Agama Kristen di tanah Raranggonau. Terjadilah penyesuaian antara Hukum adat Kaili Ledo dengan ajaran Kristiani Bala Keselamatan secara damai. Pada tahun 1928, sebagian besar warga Raranggonau berpindah ke wilayah Bora untuk dapat mendekat ke Gereja. Mereka dibuatkan pemukiman dan dibagikan lahan garapan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, ternyata alam di Bora tidak tersedia sumber air yang mencukupi untuk menyuburkan tanaman. Berpindahlah masyarakat Raranggonau kembali ke kampung asalnya dan menjadi sebuah Kampung/Desa dengan Kepala Kampung pertama bernama Lajuru (pada zaman kolonial). Pada perkembangannya, Masyarakat Ranggonau berinteraksi dengan beberapa masyarakat lain seperti Kaili Ledo yang berasal daerah Tompu dan juga Kaili Ija untuk urusan jual-beli rotan. Bahkan, keakraban antara Kaili Ledo dan Kaili Ija (saat ini) menghasilkan pertukaran bahasa lokal yang disepakati bersama saat itu. Sejak itu, bahasa Ija yang berasal dari kampung Raranggonau menjadi bahasa yang digunakan dan disebarkan di Bora, pusat pemerintahan Kab. Sigi saat ini.

Masyarakat Kaili Ledo di Desa Raranggonau kemudian bertemu dengan orang-orang yang berbahasa Indonesia dan dipaksa pindah ke wilayah lain. Oleh karena tidak suka diperintah, mereka kemudian menyebar dan bersembunyi menyebar di hutan-hutan yang dalam dan mendirikan pemukiman di beberapa tempat yang saat ini dikenal sebagai: 1. Desa Rejeki (1957), 2. Dusun Parigi Bonebula (1962), 3. Desa Parigi Gangga (1962), 4. Dusun Maranata (1962), 5. Dusun Manggalapi (1971), dan 6. Dusun Palolo Bampres (1977). Namun, sebagian dari mereka yang merindukan kampung halamannya, kembali ke kampung yang menjadi Dusun Raranggonau yang termasuk ke wilayah Desa Pombewe di masa kini. Sejak itulah Masyarakat Kaili Ledo itu berdiaspora ke berbagai wilayah di Sulawesi Tengah.



Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat Adat MARENA

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Pada zaman dahulu desa Marena hanyalah hutan belantara dan menjadi tempat persinggahan oleh para penggembala ternak kerbau dari Kulawi yang ingin pergi ke Gimpu (sekarang dikenal dengan nama desa Gimpu), begitupun sebaliknya. Para pengembala memilih untuk beristirahat dan menginap disitu karena alasan bahwa dulunya kerbau tidak akan mampu jalan lagi jika belum mandi. Tempat tersebut dikenal dengan nama Movuhu yaitu tempat kerbau untuk berkubang atau mandi. Movuhu dalam bahasa Kulawi Oma adalah tempat bergenangnya air. Proses terjadinya denangan air dsebabkan oleh adanya tanggul alami yang berbentuk gunung kecil di sekitar sungai yang menampung sebagian air sungai dan air hujan.

Hingga pada suatu hari terjadi bencana alam (banjir) yang merusak tanggul gunung-gunung tersebut. Hingga hanya menyisakan lumpur dan tidak ada lagi genangan air untuk permandian kerbau. Akibat dari bencana banjir dan menyebabkan mengeringnya tempat kubangan atau permandian kerbau tersebut, maka kerbau hanya bisa berkeliaran di tempat tersebut.

Awal mula penamaan desa Marena sebelum dikenal seperti sekarang adalah Morena. Nama morena diambil dari bahasa setempat (bahasa moma ) yang artinya adalah bekas genangan air untuk kubangan atau permandian kerbau dan kemudian hanya menjadi tempat berkeliarannya kerbau.

 

Untuk lebih memudahkan untuk diinginat dan pengucapannya, maka akhirnya nama Morena diganti dengan Nama Marena hingga sampai saat ini.


Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat adat TO LINDU

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Masyarakat Adat Lindu (To Lindu), merupakan salah satu suku asli berbahasa Tado yang berada dan mendiami lembah yang di apit oleh pegunungan yaitu bulu mampuawa (Nokilalaki) di bagian timur, Bulu Gimba dibagian barat, bulu Langko di bagian utara dan bulu matantimali, to Lindu saat ini tersebar di wilayah desa Puroo, Langko, Tomado, Anca, dan olu. Adapun Populasi to Lindu diperkirakan lebih dari 4.500 orang atau 66% dari jumlah total penduduk di wilayah ini.

Pada awalnya suku Lindu tinggal di hutan pegunungan sekitar danau Lindu, mendiami daerah Sindi Malei, Tiwolu, Pongku dan Wongko Bola, yang memanjang ke arah Tuva ketika air danau masih tinggi. Pada tahun 1897, Nicholas Adriani dan Albert Kruyt (dua orang penginjil tersohor di Poso) berkunjung ke Lindu dan menemukan suku Lindu sudah berdiam di kampung Langko, Anca, Paku, Palili, Luo, Olu dan Wangkodono, di pimpin oleh Totua Ngata yang bernama Lakese sebagai kapala ngata (kepala wilayah) dengan bentuk pemerintahan adat yaitu Jogugu, Kapita, Pabisara, dan Galara.

Kemudian pada masa pemerintahan kolonial Belanda masuk pada tahun 1908 kemudian membentuk tiga tempat pemukiman baru desa secara permanen dari 7 pemukiman (pitu ngata) tersebut dengan menggabungkan penduduknya pada 3 desa permanen yaitu Langko, Tomado (genta) dan Anca (kalendu) sebagai cara untuk melokalisir penduduk saat itu sehingga memudahkan pemerintahannya berjalan, dengan membangun rumah tinggal penduduk dan membuka areal persawahan penduduk di sekitar wilayah Langko. Adapun Pitu Ngata yang diresetlement menjadi 3 pemukiman yaitu:

• Penduduk yang bermukim di Langko dan Wongkodono dikumpulkan menjadi satu di Langko.

• Penduduk yang bermukim di Olu, Luo, Palili dikumpulkan menjadi satu tempat pemukiman di Tomado.

• Penduduk yang bermukim di Paku Anca, dikumpulkan menjadi satu tempat pemukiman di Anca.

Untuk Mengatur tempat pemukiman baru tersebut, Pada tahun 1960 sesuai dengan perkembangan penduduk di kecamatan Kulawi, sebagian penduduk desa Lonca dan Winatu kecamatan Kulawi diresetlemen ke wilayah bagian selatan desa Langko yang disebut Puroo. Atas kebijakan pemerintah kecamatan Kulawi pada waktu itu, sehingga memicu berbagai reaksi keras dari masyarakat Lindu karena merasa integritas wilayahnya terganggu. Masalah yang memicu keadaan pada waktu itu terjadi penembakan hewan kerbau dan sapi secara brutal yang dilakukan oleh Londora Kodu, mantan Tentara KNIL sebagai pejabat kepala kampung Langko, yang ditempatkan oleh pemerintah kecamatan Kulawi yang dijabat oleh Ibrahim Bandu B.A.

Akibat masalah tersebut diatas, maka masyarakat 3 desa itu semakin sulit dikendalikan oleh pemerintah kecamatan Kulawi sehingga masyarakat Lindu diembargo perekonomiannya oleh pemerintah kecamatan Kulawi selama 3 bulan. Akibat embargo tersebut, masyarakat Lindu mengeluarkan ancaman untuk bergabung dengan kecamatan Sigi Biromaru. Ancaman masyarakat Lindu ditanggapi dengan serius pemerintah kecamatan Kulawi dengan mencabut kembali sanksi ekonomi tersebut.

Setelah keadaaan masyarakat Lindu menjadi tenang, mulai saat itu pula desa Puroo sudah menjadi satu kesatuan wilayah dataran Lindu sehingga sampai saat ini, desa-desa dataran Lindu menjadi empat desa terdiri dari : Desa Puroo, Langko, Tomado dan Anca yang disingkat dengan PLTA. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan ketertiban masyarakat adat Lindu, kepala desa dibantu oleh lembaga adat desa. Dan diatas lembaga masing-masing desa dibentuk Lembaga Masyarakat Adat Dataran Lindu.


Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat adat TO PEKUREHUA WANGA

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Sebelum bermukim di pekurehua saat ini kampung masyarakat yang berlokasi di mpolenda dan pemotia (kampung lama). Wanga berasal dari kata Wa yang artinya kepala dan NGA artinya burung belibis. Wanga berdiri sejak tahun 1923 ketika seorang bangsawan yang bernama Roro Manemba bersama pengikutnya pindah dari desa Watutau ke wanga. Pada tahun 1925 oleh Belanda, Wanga diresmikan menjadi sebuah Desa yaitu Desa Wanga menjadi tempat kedudukan Magau Lore dan sekaligus menjadi pusat pemerintahan Magau Kabo dengan seorang permaisuri Mpolite Abu.

Pada tahun 1924 akibat likasi persawahan yang tidak lagi mencukupi karena pertambahan penduduk, maka Magau Lore memindahkan penduduk dari Desa Watutau ke Desa Wanga sejumlah 600 jiwa. Pada tahun 1928 dimulai pembukaan persawahan baru di desa Wanga, dan pada tahun 1930 berdirilah kantor Swapraja yang membawahi 3 Distrik yaitu; Distrik Napu/pekurehua, Distrik Behoa dan Distrik Bada

Wilayah Desa Wanga selain dihuni oleh masyarakat asli Wanga, dikampung ini juga terdapat beberapa suku. Suku Bali, Bugis, jawa.


Batas Wilayah

Batas Barat         Desa Toro tanda batasnya: lempe (Pal Batas), Desa Katu Tanda batasnya: Bulu Mungku

Batas Selatan     Desa Watutau. Tanda Batasnya: Owai Kalae, Owai Hambu, Owai Banga, Owai Lengaro

Batas Timur        Desa Alitupu tanda baatsnya: Rano Ogki, Desa Maholo tanda batasnya: Pongke, Pimpi (semak belukar), Owai Hambu

Batas Utara         Desa Katu Bulu Mungku



Sumber : DISINI

Sejarah Singkat Masyarakat adat TOPO RARA VATUTELA

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Kampung Vatutela adalah berasal dari kata “Vatu” adalah Batu dan “Tela” adalah percikan api. Dahulu kala di kampung ini banyak terdapat batu api yang apabila digesekan akan menimbulkan api. Leluhur orang Vatutela berasal dari Pomene - suatu lokasi yang sekarang ada di batas wilayah Vatutela dengan Poboya.Menurut Tetua adat setempat mengatakan bahwa Vatutela merupakan salah satu kampung tertua di lembah Palu.


Batas Wilayah

Batas Barat         Kampus Universitas Tadulako

Batas Selatan     Kelurahan Poboya

Batas Timur        Kabupaten Parigi Moutong

Batas Utara         Kelurahan Layana



Sumber : DISINI

۞ MEDIA - SOSIAL ۞