TAIGANJA

Beberapa jenis Taiganja

BENDA PURBAKALA

Beberapa Benda Purbakala yang ada di wilayah Sulawesi Tengah.

SITUS MEGALIT

Beberapa Situs Megalit di Wilayah Napu.

SULTENG Daerah 1000 Megalit

Sulawesi Tengah dicanankan sebagai Daerah Seribu Megalit ...

PETA TUA

Peta Tua Wilayah Indonesia.

Minggu, 11 Juni 2023

Perempuan Dalam Budaya Palu

 


Saat ini perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bersosial mendapat banyak sorotan dan perhatian, terkhusus dalam peran publik, ikut mengisi dan turut berpartisipasi merupakan kiprah perempuan dalam mencapai kebaikan kehidupan masyarakat. Kiprah perempuan sebagai ibu, pendidik, aktifis sosial, atau kiprah dalam bidang politik. Salah satu budaya dalam masyarakat Kaili kota Palu yang dapat menunjukkan peran perempuan di bidang publik dapat dilihat pada kegiatan pesta perkawinan (nosalia poboti).

 

Dalam rangkaian acara tersebut perempuan mempunyai keterlibatan yang sangat erat di dalamnya. Mulai dari mengundang (negaga) keluarga, teman, dan handai tolan, mempersiapkan pengantin dengan kegiatan mandi rempah atau (topopasaa), menghias pengantin (ina boti), mengatur makanan (ina rampu) dan menerima pengantin perempuan sebagai anggota keluarga saat acara mamatua (niingga). Melihat dari berbagai macam keterlibatan perempuan dalam kegiatan publik merupakan hal yang wajar dan penting untuk dilakukan. Dominannya perempuan tersebut merupakan tempat untuk menjadi arena pentas aktifitas perempuan Kaili Palu.

 

Peran perempuan dalam kaca mata masyarakat masih cenderung menilai bahwa perempuan idealnya berada pada ranah domestik saja dan itu sekan-akan merupakan hal yang mutlak bagi perempuan untuk mengurus rumah tangga, mengurus anak dan suami. Alhasil ada istilah tugas perempuan seputar 3UR, yaitu kasur, dapur, dan sumur. Padahal mestinya dengan melihat kebutuhan zaman bahwa saat ini peran perempuan tidak hanya di domestik saja tapi juga dibutuhkan dalam bidang publik agar dapat mengambil kesempatan untuk menyelami arena politik yang telah diberikan oleh pemerintah.

 

Aida Vitalaya dalam jurnal Indah Ahdiah membagi peran perempuan menjadi lima peran, yaitu pertama peran tradisi, hal itu menempatkan perempuan sebagai alat dan fungsi reproduksi (mengurus rumah tangga, melahirkan, mengasuh akan serta mengayomi suami. Dalam lingkungan masyarakat di Desa merupakan hal yang mutlak tentang perempuan yang ditempatkan pada posisi atau situasi yang bersifat domestik atau dalam negeri atau dalam rumah. Sehingga banyak keinginan para perempuan untuk berpendidikan tinggi yang harus terkubur karena tradisi yang sudah kental itu.

 

Kedua, peran transisi, hal itu mengelompokkan peran transisi lebih utama atau penting dibandingkan peran yang lain, karena pembagian tugasnya mengikuti aspirasi gender. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa gender merupakan konsep kultural yang mengarah pada karakteristik antara laki-laki dan perempuan baik secara moral, mental, biologis, perilaku dan sosial budaya. Pandangan atau aspirasi masyarakat itu yang selalu dilekatkan pada perempuan bahwa ia merupakan makhluk yang feminim dan seharusnya tidak jauh-jauh dari zona atau rumahnya.

 

Ketiga, Dwiperan, yang meletakkan posisi perempuan dalam kehidupan domestik dan publik. Peran ini merupakan peran yang lebih baik, sehingga perempuan dapat merasakan dan melakukan pekerjaan sesuai dengan keinginan mereka tanpa memikirkan keterbatasan pergerakan bagi seorang perempuan. Di samping itu, perempuan juga bisa tetap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai anak, istri, atau pun ibu.  Apabila keduanya dapat dilakukan dengan baik dan benar, maka tidak menjadi halangan lagi untuk para perempuan dalam berperan aktif di luar hal-hal yang bersifat domestik.

 

Keempat, peran egalitarian yaitu peran yang lebih menyita waktu dan perhatian untuk kegiatan di luar sedangkan urusan dalam dapat diacuhkan. Terkadang ada perempuan yang lebih suka beraktivitas di luar rumah di bandingkan dengan di dalam rumah. Hal tersebut boleh saja dilakukan, asalkan suatu tugas dan kewajiban sebagai anak, ibu, dan istri tetap harus dilakukan sebagaimana mestinya.

 

Kelima, peran kontemporer, memiliki dampak yang besar karena perempuan dapat memilih untuk mandiri dalam kesendirian. Peran ini dapat dipegang oleh beberapa perempuan yang lebih cenderung menyukai hal-hal yang tidak melibatkan banyak orang. Namun, perlu diingat kembali bahwa manusia itu tidak bisa lepas dari bantuan orang lain, karena manusia memiliki sifat individual dan sosial.

 

Kelima peran di atas telah menjelaskan bahwa perempuan mempunyai peran yang pastinya memiliki kelebihan dan kekurangan. Sebab itu, tugas perempuan ialah mencari peran apa yang harus diterapkan dalam dirinya untuk menjadi bekal dalam menghadapi segala rintangan yang ada baik dalam rumah tangga atau masyarakat luar.

 

Sebagaimana para perempuan yang ada pada lingkungan masyarakat suku Kaili yang memandang peran, kedudukan dan hak perempuan dari segi bersosial dipandang terhormat dan tinggi. Terdapat mitos to manuru yang menjelaskan bahwa asal pemimpin suku kaili. Mitos tersebut menerangkan bahwa penjelmaan manusia dari kayangan yang dipercayai oleh masyarakat kaili merupakan cikal bakal yang dapat memberikan pengaruh dalam kehidupan di masyarakat. Masyarakat Kaili mempercayai bahwa dengan to manuru yang perempuan sebagai istri dapat memberi pengaruh yang besar bagi kehidupan bermasyarakat dan juga memberikan generasi-generasi yang hebat.

 

Demikianlah pandangan masyarakat Palu, khususnya suku Kaili dalam menempatkan perempuan di derajat yang tinggi dan terhormat. Namun, semua itu tidak lepas pada kepercayaan-kepercayaan para nenek moyang terdahulu yang meyakini bahwa mitos itu ada dan termasuk hal yang benar.


Sumber : DISINI

Nosalia Poboti

 

Nosalia berarti pesta, adalah tempat berkumpulnya masyarakat di suatu tempat (biasa di suatu rumah) dimana berlangsung acara yang mengundang keluarga atau handai taulan untuk turut meramaikannya. Kata nosalia digunakan oleh suku Kaili berdialek rai, dengan demikian nosalia poboti berarti pesta perkawinan. Bagi suku Kaili yang berdialek Ledo dan tara, pesta perkawinan disebut nosusa karena dimaknai bahwa menjadi tuan rumah bagi suatu pesta pernikahan merupakan pekerjaan yang merepotkan/ menyusahkan.

         Peran (role) sering dikaji dalam sosiologi, dalam mengamati keberadaan seseorang atau institusi dalam masyarakat . Konsep peran sangat penting untuk dikaji, seperti peran pemimpin dalam lingkup organisasi yang digelutinya, peran nelayan dalam kehidupan sosial ekonomi, peran LSM dalam membantu masyarakat, termasuk peran perempuan dalam masyarakat (termasuk bagaimana masyarakat membentuk peran untuk dilakoni perempuan).

          Peran perempuan dalam pandangan masyarakat cenderung melihat bahwa peran perempuan idealnya berada pada ranah  domestik dan seakan menjadi kemutlakan, yaitu mengurus rumah tangga, mengurus anak dan suami, sehingga ada istilah tugas perempuan adalah seputar 3UR : kasur, dapur, dan sumur. Menjadi kebutuhan zaman bahwa saat ini peran perempuan juga dituntut dapat berkiprah pada bidang publik, kesempatan untuk memasuki arena publik telah diberikan oleh pemerintah.

          Tulisan ini bertujuan mengkaji suatu budaya masyarakat yang meletakkan peran perempuan secara seimbang antara aspek domestik dan publik yaitu pada budaya To Kaili (orang kaili) di Kota Palu. Melalui tulisan ini diharapkan perempuan dapat belajar dan memahami keragaman budaya masyarakat dalam memperlakukan anggota masyarakatnya, antar laki-laki dan perempuan. Dan menjadi pembelajaran untuk memilih peran yang disandang sesuai dengan tujuan hidup. Ketika ada perempuan yang mendapat kesempatan untuk memilih perannya, misalnya lebih terbuka untuk beraktifitas pada peran publik, atau peran sosial, namun memilih untuk mengabdikan diri di ranah domestik, pilihan itu janganlah dianggap kurang bergengsi karena tidak secara langsung menghasilkan keuntungan dari aspek materiil. Hal ini dikarenakan di zaman sekarang walau ruang-ruang publik sudah banyak terbuka untuk dimasuki perempuan, peran perempuan sebagai “Ratu” rumah tangga yang betul-betul murni sebagai ibu rumah tangga adalah suatu yang istimewa dan ada kemungkinan di waktu-waktu akan datang menjadi pekerjaan yang langka , karena untuk menjadi ibu rumah tangga diperlukan kecerdasan emosional tersendiri; mengatasi kejemuan pekerjaan yang sama haridemi hari, mungkin mengabaikan jenjang pendidikan yang telah ditempuh, belum lagi bila tidak bisa menambah pendapatan rumah tangga karena hanya suami sebagai pencari nafkah tunggal.


Sumber : Jurnal Online Kinesik Vol. 4 No. 1 April 2017

Perempuan Kaili

 

Perempuan Kaili

          Tulisan atau catatan khusus tentang perempuan Kaili sangat sulit diketemukan, dibuat atau didokumentasikan. Sumber-sumber yang didapat biasanya diperoleh dari cerita atau tuturan (lolita) dari beberapa orang tua (totua) yang jumlahnya kian sedikit dimakan usia, atau bila diketahui oleh beberapa orang muda, pengetahuan tersebut belum banyak dibuat dalam sebuah tulisan yang bisa menjadi sumber rujukan dalam menganalisis kedudukan dan peran perempuan di tanah Kaili.

          Pada masyarakat Kaili kedudukan dan hak perempuan dalam kehidupan sosialnya dianggap terhormat dan tinggi. Ini sangat terkait dengan mitos to manuru yang menjelaskan tentang asal muasal pemimpin pada suku Kaili. Mitos to manuru adalah kisah tentang penjelmaan manusia dari kayangan yang diyakini oleh masyarakat kaili sebagai cikal bakal pemimpin atau penguasa yang membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Mitos ini menceritakan tentang seorang tomalanggai ( laki-laki sakti yang kemudian menjadi penguasa kelompok ) yang mengawini seorang wanita jelmaan dari dalam bambu kuning keemasan ( Bolo Vatu Bulava ). Dari perkawinanan keduanya lahir para pemimpin yang secara turun-temurun menjadi penguasa pada beberapa kerajaan di suku Kaili.

          Masyarakat Kaili meyakini bahwa kehadiran to manuru sebagai isteri memberi pengaruh besar bagi perubahan sosok tomalanggai dimana kesaktian dan pengaruhnya semakin bertambah disertai sikapnya yang semakin arif dan bijaksana. Faktor inilah yang membentuk karakter anak yang menjadi pengganti dan penerus tomalanggai dan diangkat sebagai raja pertama tetap mewarisi ilmu dan sikap yang dimiliki oleh ayahnya. Peran to manuru sebagai ibu juga memberi andil besar dalam membentuk karakter anaknya dengan memberikan nasihat-nasihat untuk menjalankan pemerintahan yang bijaksana.

          Mitos to manuru juga menjadi dasar bagi masyarakat Kaili dalam mendefenisikan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Salah satu contoh bagaimana kedudukan perempuan turut serta dilibatkan dalam membahas masalah-masalah pemerintahan dan kemasyarakatan adalah dengan keharusan ibunda raja untuk hadir dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam membahas masalah kerajaan dan kemasyarakatan pada lembaga kerajaan. Mitos ini juga menjadi dasar bagi masyarakat Kaili dalam mendefenisiskan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Salah satu contoh bagaimana kedudukan perempuan turut serta dilibatkan dalam membahas masalah-masalah pemerintahan dan kemasyarakatan adalah dengan keharusan ibunda raja untuk hadir dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam membahas masalah kerajaan dan kemasyarakatan pada lembaga kerajaan. Hal ini membuat pada masyarakat Kaili, bangunan keluarga terbentuk dari hubungan kekerabatan yang dibangun berdasarkan prinsip Bilineal. Pada prinsip bilineal terdapat beberapa ketentuan atau aturan tertentu diperhitungkan berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal) dan untuk beberapa ketentuan atau aturan tertentu diperhitungkan berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal) (Nisbah, 2012).

          Kepemimpinan perempuan pada sektor publik pada masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah sesungguhnya merupakan fenomena yang telah ada sejak sistem pemerintahan kerajaan masih berlaku. Secara historis, terdapat beberapa kerajaan yang secara langsung dipimpin oleh perempuan. Kerajaan-kerajaan ini bahkan mengalami momentum kejayaaan selama beberapa periode dalam sejarah Tanah Kaili. Tercatat diantaranya Gonenggati di kerajaan Banawa Donggala, Sairalie (madika kedua) dan Pue Bawa (Madika kelima) dari kerajaan Sigi di Sigi, Vumbulangi dari kerajaan Bangga di Sigi serta beberapa raja-raja perempuan lainnya yang terus menjalin hubungan dengan beberapa kerajaan lainnya melalui proses kawin-mawin (Abdullah, 1975 : 30).

          Perempuan Kaili juga sangat diharapkan agar dapat dekat dengan keluarga. Konsep ni linggu mpo toboyo (melingkar seperti buah labu), bermakna sejauh-jauh perempuan beraktifitas, tetap kembali pada keluarga untuk berbakti, seperti tanaman buah labu yang menjulur jauh batang-batangnya namun tetap terkait dengan akarnya.

 

 

 

 

 Sumber : Jurnal Online Kinesik Vol. 4 No. 1 April 2017

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

/

Musyawarah Adat (No Libu nu Ada) di Kab. Sigi

 


Pada hari Senin (28/4) bertempat di Desa Kotarindau Kecamatan Dolo Induk Kabupaten Sigi, Perwira Penghubung Kodim 1306/Donggala untuk Kabupaten Sigi Mayor Inf. Iko Power. S bersama Danramil 1306-04/Dolo mengahadiri Undangan Musyawarah Adat (Mulibu Nu Ada).

 




 

Musyawarah Adat (Mulibu Nu Ada) ini diselenggarakan dalam rangka dokumentasi prosesi kegiatan musyawarah adat diwilayah kabupaten Sigi khususnya kecamatan Dolo. Hadir dalam kegiatan tersebut Dirjen Nilai Sejarah dan Budaya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Bpk. Diono dan Staf,Dosen sejarah Untad Bpk. Haliadi, Ketua Dewan Adat Prov, Dewan Adat Kab Sigi, Kapolsek Dolo dan Ketua adat masing-masing Desa serta para tamu dan undangan lainnya.

 


 

Kegiatan ini berjalan dengan tertib dan aman.

 

 

Sumber :  Musyawarah Adat (Mulibu NuAda) di wilayah Kabupaten Sigi

Masyarakat Adat : Identitas, Budaya dan Tantangan Zaman Modern

 

         


Masyarakat adat adalah bagian integral dari mosaik budaya dan sosial Indonesia. Mereka memiliki identitas, budaya, dan cara hidup yang unik yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, dalam era modern ini, masyarakat adat menghadapi berbagai tantangan, termasuk penurunan nilai budaya, ancaman terhadap hak atas tanah dan sumber daya alam, dan tekanan untuk beradaptasi dengan perubahan modern. Meski demikian, penting untuk memahami dan menghargai peran dan kontribusi masyarakat adat dalam masyarakat kita.

 

Apa itu masyarakat adat?

Masyarakat adat adalah kelompok sosial yang memiliki ikatan kuat dengan wilayah tertentu dan memiliki sistem nilai, norma, dan aturan yang unik. Mereka memiliki cara hidup, tradisi, dan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Masyarakat adat biasanya hidup berdampingan dengan alam dan memiliki pengetahuan mendalam tentang lingkungan mereka. Di Indonesia, masyarakat adat seperti Suku Dayak, Suku Baduy, dan Suku Toraja adalah beberapa contoh.

Bagaimana identitas masyarakat adat dipertahankan?

Identitas masyarakat adat dipertahankan melalui pemeliharaan dan pelestarian budaya dan tradisi mereka. Ini termasuk bahasa, seni, ritual, dan pengetahuan tentang alam. Pendidikan juga memainkan peran penting dalam mempertahankan identitas masyarakat adat. Melalui pendidikan, pengetahuan dan nilai-nilai budaya dapat ditransfer ke generasi muda.

Apa tantangan yang dihadapi masyarakat adat dalam era modern?

Masyarakat adat menghadapi berbagai tantangan dalam era modern. Salah satunya adalah penurunan nilai budaya dan tradisi mereka akibat globalisasi dan modernisasi. Selain itu, mereka juga menghadapi ancaman terhadap hak atas tanah dan sumber daya alam mereka. Konflik tanah dan sumber daya alam sering terjadi antara masyarakat adat dan perusahaan atau pemerintah.

Bagaimana masyarakat adat beradaptasi dengan perubahan modern?

Masyarakat adat beradaptasi dengan perubahan modern dengan berbagai cara. Beberapa masyarakat adat memilih untuk mempertahankan cara hidup tradisional mereka, sementara yang lain memilih untuk mengadopsi beberapa aspek kehidupan modern. Misalnya, beberapa masyarakat adat menggunakan teknologi modern untuk mendukung kehidupan sehari-hari mereka, seperti penggunaan alat pertanian modern atau media sosial untuk mempromosikan budaya dan tradisi mereka.

Mengapa penting untuk melestarikan budaya masyarakat adat?

Melestarikan budaya masyarakat adat penting karena budaya ini merupakan bagian integral dari identitas dan warisan bangsa. Budaya masyarakat adat juga berkontribusi terhadap keanekaragaman budaya dan biologis dunia. Selain itu, pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat adat dapat memberikan solusi untuk berbagai masalah lingkungan dan sosial.

Masyarakat adat memiliki peran penting dalam menjaga keanekaragaman budaya dan biologis dunia. Meski menghadapi tantangan dalam era modern, mereka terus berjuang untuk mempertahankan identitas dan budaya mereka. Penting bagi kita semua untuk menghargai dan mendukung upaya masyarakat adat dalam melestarikan budaya dan tradisi mereka. Dengan demikian, kita dapat membantu memastikan bahwa warisan budaya ini dapat dinikmati oleh generasi mendatang.


Sumber : https://www.questionai.id/essays-eswVzTNAyI5/masyarakat-adat-identitas-budaya-dan-tantangan-modern

Definisi Dan Karakter Masyarakat Adat

 


          AMAN mempadankan terminologi “Indigenous Peoples” - yang dipakai secara global - sebagai “Masyarakat Adat.” Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun. Masyarakat Adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan Masyarakat Adat sebagai komunitas adat.

          Terdapat empat warisan leluhur atau asal-usul sebagai pembeda antara Masyarakat Adat dan kelompok masyarakat lainnya. Unsur-unsur tersebut, antara lain identitas budaya yang sama, mencakup bahasa, spiritualitas, nilai-nilai, serta sikap dan perilaku yang membedakan kelompok sosial yang satu dengan yang lain; sistem nilai dan pengetahuan, mencakup pengetahuan tradisional yang dapat berupa pengobatan tradisional, perladangan tradisional, permainan tradisional, sekolah adat, dan pengetahuan tradisional maupun inovasi lainnya; wilayah adat (ruang hidup), meliputi tanah, hutan, laut, dan sumber daya alam (SDA) lainnya yang bukan semata-mata dilihat sebagai barang produksi (ekonomi), tetapi juga menyangkut sistem religi dan sosial-budaya; serta hukum adat dan kelembagaan adat aturan-aturan dan tata kepengurusan hidup bersama untuk mengatur dan mengurus diri sendiri sebagai suatu kelompok sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

          Sementara itu, mengacu pada Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat Adat atau Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), karakteristik penanda Masyarakat Adat, antara lain identifikasi diri (self-identification); keberlanjutan sejarah (sebelum diinvasi oleh kekuatan penjajah atau kolonial); penduduk asal (sejarah); hubungan spiritual dengan tanah dan wilayah adat; identitas yang khas (bahasa, budaya, kepercayaan); serta sistem sosial politik dan ekonomi yang khas.

          Secara internasional, sebelum lahirnya UNDRIP, Konvensi ILO No. 169 atau Konvensi Masyarakat Adat 1989 menjadi instrumen internasional pertama yang mengakui Masyarakat Adat. Konvensi tentang Masyarakat Adat yang ditetapkan oleh negara-negara anggota Organisasi Perburuhan Internasional pada 1989 itu, bertujuan untuk merevisi Konvensi ILO No. 107 (Konvensi Masyarakat Adat 1957). Prinsip utama konvensi tersebut adalah perlindungan terhadap Masyarakat Adat atas kebudayaan, gaya hidup, tradisi, dan kebiasaan.

          Selain itu, hak asal-usul merupakan pula faktor yang secara tegas membedakan Masyarakat Adat dengan kerajaan atau kesultanan. Kerajaan atau kesultanan merupakan konsep negara lama. Sehingga, Masyarakat Adat tidak sama dengan kerajaan atau kesultanan.

          Sejak awal, Indonesia telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat lewat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ppengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Adat, tercantum di dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3).

          “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-­kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-­hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-­undang.” UUD 1945 Pasal 18B ayat (2)

 

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” UUD 1945 Pasal 28I ayat (3)

          Dalam berbagai narasi dan produk hukum di Indonesia, terdapat juga istilah yang dipakai, yaitu masyarakat hukum adat (MHA), masyarakat lokal, masyarakat tradisional, komunitas adat terpencil (KAT), dan penduduk asli. Berbagai sebutan tersebut dapat merujuk pada Masyarakat Adat, misalnya penyebutan “masyarakat lokal” di nagari pada Masyarakat Adat Minangkabau, Sumatera Barat atau marga di Masyarakat Adat Batak, Sumatera Utara atau penduduk asli Papua (suku dan marga) di Papua dan Papua Barat. Namun, sebutan-sebutan yang ada, dapat pula merujuk pada masyarakat lokal - bukan Masyarakat Adat - dalam konteks di Jawa atau komunitas pendatang (misalnya, kampung transmigran) yang mendiami suatu wilayah selama beberapa generasi jika penyebutannya tidak mempertimbangkan identitas bahasa, ikatan genealogis, maupun teritorial terkait pada warisan asal-usul  sebagai pembeda. Penulisan “Masyarakat Adat” pun menggunakan awalan huruf kapital untuk mempertegas Masyarakat Adat sebagai subjek hukum.

          Sementara itu, kebijakan-kebijakan negara yang selama ini memprioritaskan pembangunan industri-industri berbasis sumber daya alam (SDA), telah menyebabkan Masyarakat Adat terpinggirkan sekaligus kehilangan hak dan akses atas SDA. Misalnya, pembangunan perkebunan monokultur secara masif oleh perusahaan perkebunan sawit yang menggusur hutan-hutan adat sebagai sumber penghidupan Masyarakat Adat, mengakibatkan Masyarakat Adat kehilangan pangan dan ruang hidup. Belum disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (RUU MA) juga kian meningkatkan eskalasi terjadinya berbagai konflik, diskriminasi, kriminalisasi, perampasan wilayah adat, dan tindak kekerasan terhadap Masyarakat Adat di berbagai penjuru Indonesia. Saat ini, pengakuan maupun perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia, masih menghadapi persoalan terkait dengan pengakuan bersyarat. Apalagi, dengan lahirnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang baru, telah menghadirkan anomali pada iklmi demokrasi sekaligus menegaskan ancaman terhadap eksistensi Masyarakat Adat.

          Di dalam Masyarakat Adat sendiri, juga hidup beragam kelompok minoritas, yaitu mereka Masyarakat Adat yang mengalami ketertindasan berlapis, baik itu karena faktor kesejarahan, kelas, maupun lainnya. Mereka adalah yang mengalami diskriminasi dan stigma berganda, bukan hanya karena Masyarakat Adat, tetapi karena identitas lain yang melekat. Kelompok Masyarakat Adat minoritas itu, - tak terbatas pada yang disebutkan di sini - meliputi perempuan, anak (berusia di bawah 17 tahun), penyandang disabilitas, lansia, minoritas gender dan seksual, dan kelompok minoritas lainnya yang hidup di dalam suatu komunitas adat sebagai Masyarakat Adat.






Sumber : https://aman.or.id/news/read/1267

Tanah Kaili : Mengenal Suku Kaili

Tanah Kaili : Mengenal Suku Kaili:

http://100tokaili.blogspot.com/2010/12/mengenal-sedikit-tentang-suku-kaili.html?spref=fb


Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun mendiami daerah Lembah Palu, , Kabupaten Sigi, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Donggala, Kabupaten Tojo Una-una, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Poso.
Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kataKaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi sungai palu danteluk palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.
Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu, Pelabuhan Bangga.

BAHASA
Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili memilikilingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa bugis, manado dan melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa kaili :
- Ledo (sebagian besar wilayah kota palu bagian tengah, timur, barat dan selatan. dan sebagian wilayah kabupaten Sigi yang berbatasan dengan kota palu).
- Tara (Talise,Lasoani,Kavatuna dan Parigi),
- Rai (Tavaili sampai ke Tompe dan sebagian wilayah pantai timur),
- Doi (Pantoloan dan Kayumalue);
- Unde (Ganti,Banawa,Loli,Dalaka, Limboro,Tovale dan Kabonga),
- Ado (Sibalaya, Sibovi, Sidondo, Pandere)
- Edo (Pakuli,Tuva),
- Ija (Bora, Vatunonju, Palolo),
- Da'a (Jono'oge, Wilayah Kecamatan Marawola Barat ),
- Uma/Moma (Kulawi),
- Bare'e (Tojo, Unauna, Poso dan sebagian wilayah Morowali).

- Ta'a (Ampana, Ulu Bongka dan sebagian wilayah Morowali)

Semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".
Mata pencaharian utama masyarakat Kaili adalah bercocok tanam disawah,diladang dan menanam kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke kalimantan.
Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah dataran dilembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan. Kadang pada musim paceklik masyarakat menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan jagung giling).
Alat pertanian suku Kaili diantaranya : pajeko (bajak), salaga (sisir), pomanggi, pandoli(linggis), Taono(parang); alat penangkap ikan diantaranya: panambe, meka, rompo, jala dan tagau.

BUDAYA
Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya didalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat.
Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian (no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam.
Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain : Kakula (disebut juga gulintang,sejenis gamelan pentatonis),Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo(gong), suli (suling).
Salahsatu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabetetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe inipun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Didaerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu atau vuya. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro)dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari Minangkabau bernama Abdul Raqi. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah kaili, Abdul Raqi dikenal dengan nama Dato Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat kemampuan beliau yang berada diluar kemampuan manusia pada umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang dibawah pengawasan Pemerinta Daerah.
Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).

PEMERINTAHAN
Pemerintahan pada masa dahulu, sudah dikenal adanya struktur organisasi pemerintahan didalam suatu Kerajaan (KAGAUA) dikenal adanya MAGAU (Raja), MADIKA MALOLO (Raja Muda). Didalam penyelenggaraan pemerintahan Magau dibantu oleh LIBU NU MARADIKA (Dewan Pemerintahan Kerajaan) yang terdiri dari: MADIKA MATUA (Ketua Dewan Kerajaan/Perdana Menteri) bersama PUNGGAWA (Pengawas Pelaksana Adat/ Urusan Dalam Negeri), GALARA (Hakim Adat), PABICARA (Juru Bicara), TADULAKO (Urusan Keamanan/ Panglima Perang) dan SABANDARA (Bendahara dan Urusan Pelabuhan).
Disamping dewan Libu nu Maradika, juga ada LIBU NTO DEYA (Dewan Permusyawaratan Rakyat) yang merupakan perwakilan Rakyat berbentuk KOTA PITUNGGOTA (Dewan yg Mewakili Tujuh Penjuru Wilayah) atau KOTA PATANGGOTA (Dewan yg Mewakili Empat Penjuru Wilayah). Bentuk Kota Pitunggota atau Kota Patanggota berdasarkan luasnya wilayah kerajaan yang memiliki banyaknya perwakilan Soki (kampung) dari beberapa penjuru. Ketua Kota Pitunggota atau Kota Patanggota disebut BALIGAU.
Strata sosial masyarakat Kaili dahulu mengenal adanya beberapa tingkatan yaitu MADIKA/MARADIKA, (golongan keturunan raja atau bangsawan),TOTUA NUNGATA (golongan keturunan tokoh-tokoh masyarakat), TO DEA (golongan masyarakat biasa), dan BATUA (golongan hamba/budak).
Pada zaman sebelum penjajahan Belanda, daerah Tanah Kaili mempunyai beberapa raja-raja yang masing-masing menguasai daerah kekuasaanya, seperti Banawa, Palu, Tavaili, Parigi, Sigi dan Kulavi. Raja-raja tersebut mempunyai pertalian kekeluargaan serta tali perkawinan antara satu dengan lainnya, dengan maksud untuk mencegah pertempuran antara satu dengan lainnya serta mempererat kekerabatan.
Pada saat Belanda masuk kedaerah Tanah Kaili, Belanda mencoba mengadu domba antara raja yang satu dengan raja lainnya agar mempermudah Belanda menguasai seluruh daerah kerajaan di Tanah kaili. Tetapi sebagian besar daripada raja-raja tersebut melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, mereka bertempur dan tidak bersedia dijajah Belanda. Tetapi dengan kelicikan Belanda setelah mendapat bala bantuan dari Jawa akhirnya beberapa raja berhasil ditaklukan, bahkan ada diantaranya yang ditangkap dan ditawan oleh Belanda kemudian dibuang ke Pulau Jawa.
Beberapa alat senjata perang yang digunakan oleh suku Kaili diantaranya : Guma (sejenis parang), Pasatimpo (sejenis keris), Toko (tombak), Kanjai (tombak trisula), Kaliavo (perisai).

Kearifan Lokal Masyarakat Kaili Sulawesi Tengah

 

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAILI DI SULAWESI TENGAH

Oleh: Sukmawati Saleh

ABSTRAK

Kearifan lokal merupakan warisan leluhur turun temurun mengandung nilai-nilai positif dan nilai-nilai spritual untuk dijadikan pedoman dalam bersikap dan bertingkahlaku (pattern of action). masyarakat Kaili yang merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah di Sulawesi Tengah juga memiliki seperangkat pengetahuan lokal yang merupakan pola dari budaya Kaili yang mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari seperti pada  pelestarian hutan, perairan danau Lindu, pantangan atau pemali dalam bertutur atau berucap, dan upacara adat lainnya. Keselarasan hidup yang terjabarkan dari kearifan lokal masyarakat Kaili apabila dijaga dan terus dipelihara keberlangsungannya maka akan senantiasa memberikan keseimbangan ikatan antara manusia dan alam. Demikian juga dengan tabu, pantangan atau pemali dan sanksi-sanksi terhadap berbagai pelanggaran dari kearifan lokal yang masih terjaga semuanya berorientasi kepada penjagaan kelestarian, keselarasan hubungan antara manusia dan alam tempatnya bermukim.

 

PENDAHULUAN

Secara garis besar bahwa ungkapan pada umumnya menggambarkan latar belakang kehidupan sosial budaya pada suatu komunitas yang diwariskan secara turun temurun dalam bentuk pertama “ sisidu “ atau pantun kilat, kedua, “vaino atau kajori “ bersifat pantun, ketiga “ tindua “ bersifat syair.  Makna ungkapan itu berupa nasehat misalnya untuk berbuat baik, mematuhi norma-norma adat istiadat, nasehat untuk meninggalkan perbuatan yang tercela, sikap dan perilaku yang bersifat kewenangan dan tidak bertanggung jawab. Pesan-pesan yang disampaikan itu diperuntukkan kepada kelompok-kelompok atau unit-unit sosial  termasuk generasi muda ( remaja putraputri) dan anggota masyarakat lainnya. Ungkapan secara lisan itu disampaikan oleh orang-orang tua yang disebut “to tua ngata”  yaitu tokoh masyarakat yang dituakan dan menguasai adat istiadat. Oleh karena itu, ungkapan sisidu dalam masyarakat Kaili mengandung makna dan simbol, berbagai aspek kehidupan sehari-hari, baik individu, keluarga, kelompok maupun warga  komunita lainnya.Ungkapan secara lisan yang merupakan tradisi lisan dalam antropologi digolongkan kajian “ Etnografi Naratif “ (lihat Denzin, 2009: 615). 

Di Sulawesi Tengah pada umumnya, dan masyarakat Kaili khususnya memiliki kearifan lokal (local wisdom) dalam melestarikan ungkapan-ungkapan, pantangan atau pemali, dan upacara adat lainnya, sebagian penganutnya masih dijumpai pada setiap kelompok masyarakat tradisional. Ungkapan-ungkapan berlatar dari bahasa yang mengandung makna dan interpretatif simbolik yang memungkinkan mereka  untuk beraction, berdasarkan interpretasi mereka terhadap ungkapan-ungkapan tersebut.  Suku Kaili merupakan etnis yang terbesar populasinya dibandingka sukusuku lainnya,  tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah,  mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan seharihari. Namun, suku Kaili memiliki “lingua pranca” yang dikenal sebagai bahasa “Ledo”. Kata ledo berarti “tidak”. Bahasa Ledo ini digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya, dan masih ditemukan bahasa asli yang belum dipengaruhi bahasa para pendatang, yaitu di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara bahasa Ledo yang dipakai oleh masyarakat Kaili di kota Palu, dan Biromaru (bahasa Kaili Ado, Kaili Tara, Kaili Ija, Kaili Edo ),  Donggala (bahasa Unde dan Doi) dan Parigi dan sekitarnya (bahasa Kaili Tara dan Rai), sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa pendatang, terutama Bugis dan Melayu. Semua kata dasar bahasa-bahasa yang disebutkan itu berarti “tidak” 

Ungkapan yang dimaksudkan dalam tulisan ini, diucapkan dan disampaikan dalam  upacara-upacara adat, pertama, upacara perkawinan, diiringi tarian no-Rego, kesenian berpantun remaja putra-putri, kedua, upacara kematian (no-Vaino, menuturkan kebaikan-kebaikan orang meninggal), ketiga, upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji yang diperuntukkan dewa kesuburan), keempat, upacara penyembuhan penyakit (no-Balia,  ritual penyembuhan melalui orang-orang yang kemasukan roh-roh leluhur yang telah meninggal). Selain itu, beberapa pantangan, tabu atau larangan, menurut mereka  bila dilanggar akan dikenakan sanksi adat yang merupakan bentuk kearifan di dalam pemeliharaan dan pengelolaan sumber daya alam, sekaligus menjadi kerangka orientasi nilai-nilai budaya (cultural values) yang dipatuhi bersama oleh warga masyarakat. Oleh karena itu kearifan lokal yang merupakan warisan leluhur turun temurun mengandung nilai-nilai positif dan nilai-nilai spritual untuk dijadikan pedoman dalam bersikap dan bertingkahlaku (pattern of action). Selain ungkapan yang diuraikan itu, masyarakat Kaili juga memiliki pengetahuan lokal dalam pelestarian hutan, perairan danau Lindu, pantangan atau pemali dalam bertutur atau berucap, dan upacara adat lainnya. Sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini.

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAILI

Masyarakat Nelayan Pesisir Danau Lindu

Alat penangkapan ikan dengan teknologi sederhana yaitu pukat atau jaring (Landa=bahasa Kaili) dan pancing (Peka=bahasa Kaili) atau Kipu (perangkap ikan). Diantara jenis ikan yang dapat ditangkap dan dikonsumSI oleh penduduk setempat yaitu sumi-sumi, karper, uru (ikan gabus, ikan kosa, ikan pajanggo (ikan lele), gurami, mujair, belut, ikan tawes. Ikan yang tidak boleh ditangkap adalah ikan jenis masapi (sugili) diyakini ikan jadi-jadian, dengan panjang kira-kira 50 cm, besar dan beratnya melebihi sugili biasa. 

Untuk menjaga eksistensi danau lindu, diberlakukan pantangan atau tabu menangkap ikan pada masa atau waktu tertentu yang disebut “ Masa Ombo” kearifan lokal dalam  bentuk pelarangan menangkap ikan. Ombo terdiri atas: Ombo Ngiki, Ombo Suaka, dan Ombo Pemerintah. Masa Ombo bertujuan untuk mengatur dan mengontrol populasi ikan agar tetap stabil. Ombo Ngiki yaitu pantangan menangkap ikan di danau, sedang di darat pantangan melakukan pesta, kecuali aktivitas biasa tiapa hari, pelarangan ini merupakan keputusan hasil musyawarah di empat desa yaitu. Desa Puroo, Langko, Tomado dan Anca. Waktunya sampai tiga bulan, sekaligus untuk mengontrol populasi ikan di danau. Selain itu, ikan mujair yang kecil tidak boleh ditangkap atau dijual, kalaupun terjaring harus dilepas kembali ke  danau,  karena ikan mujair yang kecil dapat memakan jentik nyamuk malaria. Ombo Suaka, berlaku selama 40 hari jika ada salah satu keluarga Madika (bangsawan dan keluarganya)  meninggal dunia, hanya dibatasi wilayah penutupan lokasi penangkapan ikan, sesuai daerah atau tempat tinggal madika tersebut, termasuk tokoh adat yang dihormati dan dituakan di desanya. Khusus Ombo pemerintah berlaku pelarangan penangkapan ikan kalau dianggap bahwa benar-benar dalam kondisi kerusakan yang sangat parah selama dua bulan. Dengan kata lain, pemerintah dan warga masyarakat setempat berupaya menjaga kerusakan perairan danau Lindu dalam waktu-waktu tertentu dilakukan pemulihan dan pemeliharaan. 

Kearifan nelayan untuk memberi kesempatan ikan-ikan berkembang biak, sehingga mereka dituntut untuk menjaga ekosistem danau tersebut, sebagai sebuah fishing ground (Sani, 2007:106). Dalam hal ini, ombo berfungsi sebagai tindakan pelarangan menangkap ikan untuk menjaga kepunahan populasi ikan. Kearifan tradisi tercermin dari perilaku mereka yang memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap lingkungan alam yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya (Nababan, 1995 dan Adimihardja, 1999) karena menurut mereka pengetahuan lokal merupakan refleksi dari kebudayaan masyarakat setempat, di dalamnya terkandung tata nilai, etika, norma, aturan dan keterampilan dalam memenuhi tantangan hidupnya. Dengan kata lain, ombo tidak sekedar berdimensi normatif karena sanksi-sanksi bagi pelanggarnya, tidak juga berdimensi ekonomi, tetapi danau diyakini sebauh misteri yang dikuasai oleh mahluk-mahluk supranatural. Oleh karena itu masyarakat kaili dalam tradisinya setiap melakukan aktivitas penangkapan ikan selalu disertai atau diawali oleh sebuah ritual. 

Sanksi terhadap pelanggaran ombo berupa teguran secara langsung dari pemuka adat, diyakini bahwa pelanggaran ombo berakibat kena bala seperti, sakit atau meninggal dunia, khususnya pelanggaran ombo suaka.Sanksi lainnya berupa denda 10 dulam, (piring adat) satu buah kain mbesa (kain adat) satu ekor sapi atau kerbau. Selain itu, hubungan Topo Lando (nelayan) dengan Danau Lindu, memiliki alat tangkap yang ramah lingkungan baik yang dikembangkan atau yang diadopsi dari luar, seperti, landa (pukat/jaring) dengan ukuran 4 (empat) jari, dimaksudkan untuk menjaga habitat ikan yang ditangkap dengan jaring, ikan yang terjaring lebih kecil dari ukuran 4 (empat) jari akan dilepaskan kembali ke danau.

Kearifan Lokal Pelestarian Hutan  

Pengetahuan tentang vegetasi yang dapat menjaga kelestarian hutan dan erosi yang berada di sekitar danau lindu, antara lain: kayu tea, kayu beata, kayu mona, kayu kapa, kalibau. Jenis kayu yang disebutkan itu berlaku pelarangan untuk ditebang, hanya yang dibolehkan diambil adalah ranting-ranting yang kering diperuntukkan kayu bakar. Maksudnya untuk mengantisipasi agar air di danau tidak melimpah yang dapat menyebabkan tanah menjadi lonsor, tertutup sungai yang mengalir ke danau atau air danau meluap yang berakibat banjir. Selain itu, bagi masyarakat Kaili juga berlaku secara adat dalam melestarikan hutan dengan jenis pohon yang harus dilestarikan seperti, pohon malabano, nokilana, maravola, malasia, dan tanjaibo. Untuk menjaga mekanisme pelarangan dan pelestarian hutan, diperlakukan aturan dengan istilah “Ombo” artinya selama masa ombo diberlakukan secara adat, maka jenis pohon yang ada di  hutan tidak boleh ditebang atau diambil pohonnya, kecuali ranting-ranting yang kering untuk dijadikan kayu bakar, maksudnya upaya masyarakat untuk tetap melestarikan hutan agar tidak kena longsor atau bahaya banjir yang bisa merusak lingkungan dan perumahan. Namun, faktanya illegal loging (pencurian kayu), pembabatan hutan  dan pembakaran hutan, terutama masyarakat nomaden (Kaili Daa) atau petani berpindah-pindah, adalah mereka yang menetap di daerah pegunungan Nikolalaki, masih sering melakukan aktifitas seperti itu, cenderung pengrusakan terhadap lingkungan hidup dan berlanjut terus hingga saat ini. 

Kerusakan terhadap ekosistem hutan, pada umumnya masih berlaku di kalangan komunitas adat terpencil, dengan pola tanam tebang, bakar dan panen. Mereka pada umumnya masih  hidup berpindah-pindah (nomaden). Dampaknya adalah tidak hanya pada keseimbangan ekosistem (ecosystem equilibrium)  semata, tetapi juga akan merusak jaringan tatanan sosiokultur masyarakat lokal (local people) (Hijjang, 2007: 91). Sebagai contoh,  banjir bandang pada tahun 1997, bersumber dari  gunung nikolalaki Donggala sebagai akibat hujan keras dan rusaknya ekosistem yang memakan korban jiwa dan material lainnya bagi masyarakat kota Palu. Oleh karena itu sistem pengetahuan lokal sebagai alat bantu pemecahan problem sosiolkultural sebagai bagian dari kearifan lokal yang terintegrasi dalam lingkungan dan sistem kepercayaan mereka, sehingga dianggap sangat bermanfaat, khususnya dalam persfektif pengembangan pelestarian hutan yang berkelanjutan. 

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAILI YANG BERHUBUNGAN DENGAN UPACARA ADAT, UNGKAPAN, PEPATAH DAN KEPERCAYAAN LAINNYA

Komunitas adat Kaili masih menyimpan pesan-pesan atau ungkapan-ungkapan yang bersumber dari leluhur mereka dalam bentuk ungkapan-ungkapan, berisi larangan atau pantangan untuk melakukan sesuatu baik komunitas petani menetap dan tidak menetap, nelayan, maupun masyarakat pesisir. Jika pesan-pesan tersebut dilanggar, maka akan berakibat kehidupan yang tidak harmonis atau disharmonisasi antar  individu atau keluarga, lingkungan atau ekosistem dan keseimbangan alam. Pesanpesan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

 Kearifan Lokal Berbuat Baik Yang Berhubungan Kehidupan Sehari-Hari

“ Ane mamate rai nembali, pakadoli gau nemo mabali” artinya supaya selalu hidup berbuat baik, jangan dicampur dengan kejahatan, sebab kalau sudah mati bisa berubah wajah. Maksudnya dari ungkapan ini adalah larangan untuk berbuat kejahatan selama masih hidup, justru yang dianjurkan selalu berbuat kebaikan kepada sesama, keluarga, masyarakat dan sesama mahluk lainnya (flora dan fauna), karena orang mati yang dibawa adalah amal ibadah di dunia. Dilanjutkan dengan “ Ane raja madago, maria rasi” artinya kalau budi baik banyak untung, maksudnya yang selalu berbuat baik diyakini akan dapat keuntungan atau rezki yang besar, walaupu  itu tidak ditahu darimana sumbernya, yaitu “Asala n tau belo kana mabelo” artinya asal orang baik selalu berbuat baik” maksudnya kalau asalnya atau turunannya berasal dari keluarga baik, maka tentu akan diwariskan oleh turunannya keluarga yang baik pula. Dalam kehidupan sehari-hari  yang dicari adalah kebaikan yakni “Belo raelo belo rakava” artinya kebaikan dicari, maka kebaikan pula yang diperoleh. Ungkapan ini dilanjutkan “ Belo raporia belo rakava” artinya perbuatan yang baik, akan dibalas dengan yang baik. Ungkapan ini merupakan nasehat kepada seseorang yang berusaha, jika diawali dengan niat yang baik, maka tentu hasilnya juga akan baik, atau akan menguntungkan yang bersangkutan.   

Kearifan Lokal Yang Berhubungan Dengan Upacara Adat

 “ Anesala ada ndapebuto” artinya jika salah adat, sakitnya bengkak yang terkutuk, maksudnya orang yang melanggar adat tidak mematuhi aturan dan norma-norma serta tidak menghargai nilai-nilai yang berlaku dalam komunitas itu, maka sanksi  yang dijatuhkan oleh to tua ada (orang tua adat), dikutuk sakit dengan penyakit bengkak seluruh tubuhnya. Sanksi ini juga berlaku bagi anak-anak yang tidak tahu adat yakni “ Topogero Libu” artinya orang yang selalu mengganggu pembicaraan orang-orang tua dalam suatu pertemuan, karena itu mereka dicap atau dilabelkan  sebagai “ Tau nasala vati” artinya orang yang kurang memenuhi tuntutan adat, maksudnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak menghargai adat istiadat yang berlaku dalam kounitas itu. Oleh karena itu, orang yang seperti ini adalah “Topo mba capa-capa to tua” yakni orang yang selalu memandang rendah pada oran g tua, tidak beradab atau tidak berakhlak atau tidak memiliki etika, maka orang seperti ini diyakini tidak akan berbahagia dalam hidupnya, karena mereka akan ditinggalkan sesamanya baik keluarga maupun masyarakatnya.  Komunita Kaili memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang biasanya kalimat-kalimat yang disampaikan itu dari  orang-orang  tua berupa nasehat pesan atau peringatan yang ditujukan kepada orang-orang yang suka berlagak sombong, seperti orang yang berilmu, padahal pada dirinya memiliki kekurangan. Typologi orang-orang seperti ini perlu dihindari dari pergaulan, melalui makna dan pengertian ungkapan-ungkapan yang diuraikan di bawah ini,   sebagai berikut:

Kearifan lokal yang berisikan ungkapan-ungkapan  Pepatah, pantangan atau tabu

Dicontohkan orang yang boros, banyak bicara , sombong dan angkuh.

“ Apa kura kumpaina madotapa rai mo ria” artinya orang yang boros, nanti kehabisan baru timbul penyesalan. Maksudnya orang yang suka hidup berpoya-poya, glamour, termasuk boros dalam pengeluaran  dan tidak memiliki manajemen untuk mengatur kebutuhan mereka sehari-hari, sehingga apapun yang dimilikinya akan habis, dengan kata lain orang seperti ini diumpamakan orang yang bangkrut, penyesalan pun terjadi setelah semua sudah habis atau musnah, termasuk harta benda yang dimilikinya, maka orang seperti ini diumpamakan sebagai “ Mau bulu maduraja” artinya orang yang boros dengan kekayaannya akhirnya hidupnya menjadi orang yang melarat. Oleh karena itu, orang tua memberi simbol typologi orang seperti ini adalah “ Da ri dali uve na ongamo” artinya orang yang berlagak sombong, mulut besar, sedang  pengetahuannya sedikit, maka orang yang seperti ini adalah “Da nanavu da nirumpu ntangga” artinya jatuh sambil ditimpa anak tangga, maksudnya orang seperti ini akan mendapat musibah terus menerus.  Selanjutnya ungkapan ini dipertegas lagi yang sifatnya mengejak atau mengolok-olok yakni “ To nitana sunji kapeona” artinya orang yang menanam cincin emas di kolong rumahnya  maksudnya ucapan yang sifatnya mengejek bagi orang-orang yang berlagak sebagai orang mampu dan bersifat sombong, padahal tidak memiliki apapun yang bisa diandalkan, seperti pengetahuan, pengalaman dan harta benda lainnya. Ungkapan ini dilanjutkan yakni “ dopa notodai nokelumo” artinya belum buang air besar sudah dibasuh atau belum ada hasil, tetapi sudah disebarluaskan. Maksudnya sikap seseorang yang bermulut besar, terutama bagi orang-orang yang bekerja belum pasti berhasil, tetapi sudah disebarluaskan atas pekerjaan itu kepada orang lain, karena kalau tidak berhasil atau gagal,  otomatis akan mendatangkan malu  kepada yang bersangkutan. Nasehat ini berupa ajaran moral bahwa suatu usaha yang belum pasti kebenaran dan keberhasilannya tidak perlu digembor-gemborkan ke mana-mana, padahal usaha itu tidak mempunyai manfaat bagi orang lain.   

Pepatah yang berhubungan dengan orang yg tidak suka bergaul dan  tidak tetap pendirian (plin plant).

 Komunitas Kaili masih mempercayai bagi orang-orang yang tidak mudah bergaul atau terisolasi dengan komunitasnya, tidak menghargai bantuan orang lain dan merasa kuat sendiri, yakni “ Eva to natuvu mpo vatu” artinya orang yang hidup sebagai batu, maksudnya orang yang keras kepala seperti batu, merasa kuat dan mampu, padahal disatu sisi memiliki kelemahan, sehingga orang seperti ini dilabelkan sebagai manusia tidak pandai bersilaturrahiim. bahkan orang yang seperti ini tidak mau mendengarkan nasehatnasehat dari keluarga dan warga lainnya, karena “ No talingan vatu no ntuli ase” artinya bertelinga batu yang tahinya besi, maksudnya bagi orang-orang yang samasekali tidak mendengar nasehat atau mendengar orang-orang yang memberikan nasehat atau apa yang disampaikan orang tidak pernah dilaksanakannya. Orang-orang seperti ini diungkapkan sebagai orang yang egoisme, hanya mau menang sendiri, dan tidak memiliki pendirian tetap, yakni “ Umba-umba asala meumba” artinya mana-mana saja asal terapung, maksudnya ditujukan pada orang yang tidak memiliki pendirian tetap, tidak berkepribadian yang utuh, dan selalu ingin berkuasa,  Orang yang seperti ini harus dihindari dari pergaulan, karena bisa membahayakan bagi orang lain, sebagai provokator dan dapat menyulut perselisihan diungkapkan “To ndoe ade” artinya orang yang berlagu panjang, suka membawa bicara, suka membuat isu yang negatif, sehingga dapat menimbulkan perselisihan, perkelahian,  dan konflik antar individu, keluarga, dan antar desa. 

Ungkapan Orang Yang Diberi Tugas dan Tanggung Jawab

“da ri uluna da nasiromu di layanpa Nopenga-pengamo” artinya dari hulunya masih bersatu, dihilirnya bercabang-cabang. Maksudnya ungkapan ini merupakan nasehat bagi orang-orang yang diserahkan tugas dan tanggung jawab untuk tidak disalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang dipercayakan oleh masyarakat. Sebaliknya jika bertindak semaugue menurut kemauan sendiri, merupakan pertanda awal perpecahan yang mengakibatkan kesatuan dan persatuan tak dapat lagi dipertahankan, karena memunculkan terjadinya disharmonisasi dalam pekawanan atau persahabatan baik individu, kelompok maupun masyarakat. Makna ungkapan lebih luas kalau diterjemahkan berupa pesan agar tetap menjaga persatuan dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ungkapan ini dilanjutkan dengan kalimat “ Nemo aga montalu mpo iti” artinya jangan seperti itik, tahunya bertelur tetapi tidak mau mengeram dan menetasnya. Maksudnya ungkapan ini adalah nasehat kepada seseorang yang tiadak mau bertanggung jawab, berani berbuat berarti berani juga bertanggung jawab. 

Ungkapan Nasehat Bekerja Secara Hati-Hati

“ Dopa nisama jara nagovamo” artinya belum dikekang kudanya sudah berlari, maksudnya ungkapan bagi seseorang yang bertindak melakukan sesuatu pekerjaan atau keputusan yang terlalu cepat atau tergesa-gesa, tanpa memikirkan akibatnya  atau tanpa persiapan yang mengakibatkan perbuatan itu fatalism suatu kerugian yang tidak terhindarkan. Oleh karena itu, dibutuhkan ke hati-hatian dalam memanajemen sesuatu pekerjaan agar rasionalitas dalam membuat persiapan-persiapan sebelum bertindak,  kecorobohan bekerja, maka setiap saat bahaya akan mengancam baik pada diri sendiri maupun yang berhubungan langsung dengan pekerjaannya, terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga dibutuhkan kewaspadaan, ketenangan dan kesabaran.

Simbol-Simbol Yang Berhubungan dengan Kepercayaan

Membangun rumah baru, terutama rumah panggung yang tiang-tiangnya   menggunakan kayu, maka di tengah-tengah rumah “posi banua” atau “posi karava” biasanya dilengkapi dengan bahan-bahan yang diikat atau digantung pada tiang tengah rumah berupa: pisang mengkal satu tandan, nangka besar yang sudah masak, tebu dan air garam satu botol. Maksudnya agar pemilik rumah tidak akan kekurangan rezki, banyak anak, kehidupannya berjalan mulus, dan terhindar dari bahaya binatang melata.  Selain itu, pada  waktu pindah rumah baru, pantang mengeluarkan barangbarang dari rumah selama tiga hari tiga malam seperti perabot rumah tangga, menyapu kotoran atau sampah ke luar rumah, maksudnya jangan sampai rezki itu ke luar semua atau ada diantara anggota keluarga yang ke luar atau meninggal. 

Pantangan atau tabu yang berhubungan dengan upacara adat dan kehidupan sehari-hari,

Dalam upacara pesta perkawinan samasekali tidak dibenarkan memecahkan sesuatu selama berlangsungnya prosesing upacara, seperti piring, gelas atau barang pecah lainnya. Maksudnya menurut kepercayaan mereka kalau ada barang yang pecah sewaktu berlangsungnya pesta perkawinan, maka usia perkawinan bagi kedua mempelai tidak lama, artinya memungkinkan terjadi perceraian keduanya.  

Pantangan yang berupa kalimat atau kata-kata yang tidak boleh diucapkan 

yaitu tabu atau “puloru” atau katula yang ditujukan kepada anak-anak menyebut nama orang tua pada waktu makan, karena makanan yang disantap oleh yang bersangkutan tidak merasakan nikmat dan kekenyangan, kalau terpaksa harus menyebut nama orang tua harus didahului dengan kata “kinaa saogu mbosu kumo” artinya biar makan sebiji atau segenggam nasi sudah merasa kenyang. Demikian juga menyebut nama raja atau bangsawan, harus terlebih dahulu memegang ubun-ubun kepala sebagai tanda hormat atau nama raja diganti atau disebut nama lain. 

 

PENUTUP

Masyarakat Kaili pada umumnya di Sulawesi Tengah, lebih menekankan ke sakralan yang dimiliki perairan danau Lindu, hutan, pantangan/tabu, ungkapan-ungkapan dan upacara adat lainnya. Kesakralan terhadap sumber daya alam membentuk sikap dan perilaku mereka untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan adat. Menurut mereka jika dilanggar, maka orang yang bersangkutan diyakini bisa kena “katula” berupa  penyakit,   cacat, atau meninggal. Karena itu,  untuk tetap melestarikan potensi sumber daya alam seperti, danau Lindu, hutan dan beberapa pantangan atau tabu, maka  yang bersangkutan akan dikenakan sanksi berupa denda, dulam, kain mbesa, dan    binatang lainnya (sapi atau kerbau). Dipertegas dalam adat dengan motto” makono ada, malompe todea” dan “maroso ada, malino ngapa” artinya jika hukum ditegakkan secara adil, maka rakyat hidup sejahtera, negeri aman dan damai.          

 

Selain fungsi ekologis, seperti hutan, danau dan jagad raya agar tetap dilestarikan,  juga  merupakan sumber kehidupan warga masyarakat setempat, karena itu, upacaraupacara adat atau ritual lainnya, masih tetap dipertahankan   dan dilakukan  di Bantaya  bagi masyarakat Kaili , Lobo bagi masyarakat Kulawi. Sebagai contoh, upacara Vunja yakni upacara kegembiraan selesai panen, mereka melakukan di areal dekat hutan, karena di lokasi itu ada bangunan Bantaya atau lobo, diselingi dengan tarian modero,  ungkapan-ungkapan  atau peribahasa yang diperuntukkan bagi remaja putra-putri. Namun, selama tarian modero berlangsung, mereka tetap pada koridor etika yang berlaku pada komunitas tersebut, karena bila ada yang melanggar  sesuai ketentuan adat,  maka sanksi adat  tetap  berlaku.  Oleh karena itu, adat istiadat difungsikan tidak terbatas pada pengrusakan hutan, tetapi juga yang bersentuhan dengan perilaku seharihari, misalnya tidak boleh sombong, angkuh, hidup boros atau glamour, menyebarkan isu negatif (pitnah), dimaksudkan agar kehidupan bermasyarakat, baik individu, kelompok, atau suku untuk tetap hidup harmonis walaupun berbeda agama dan keyakinan masing-masing. 

Keselarasan dianggap akan mencegah konflik serta menjamin kerukunan antara sesama unsur yang menjaga jagad ini (manusia pada umumnya), terhadap sesama anggota warga masyarakat. Hal ini terjabarkan dalam sistem nilai dan sistem ritus dan simbol (Daeng, 2000: 15), di mana ikatan sesama manusia, tanah, hasil bumi dan kekuatan-kekuatan adikodrati dikukuhkan dalam keseimbangan. Demikian juga dengan tabu, pantangan atau pemali dan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran tersebut, semuanya berorientasi kepada penjagaan kelestarian, keselarasan hubungan antara unsur-unsur jagad. Konsisten dan kebersamaan dalam menjaga ketertiban dan keamanan melalui motto “hintuwu mome panimpu” disimbolkan agar tetap menjaga keutuhan dan ketenteraman hidup dalam masyarakat, dengan pilar utama adalah “ pakaroho hintuwu” artinya perkuat persatuan dan kesatuan, dan “nemo mome kingki, padaa dan kubi “ artinya jangan saling membenci, dan saling menyakiti antara sesama penghuni jagad. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, Kusnaka, (1999), Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi, Humaniora Utama Press, Bandung

Daeng J. Hans, (2000), Manusia Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologis, Pustaka Pelajar, Yokyakarta. 

Denzin K. Norman dan Y.S. Lincoln, (2009), Handbook of Qualitative Research,   Pustaka Pelajar, Yokyakarta

Hijjang, Pawennari dan Basrah Gising, (2007), Pasang ri kajang: Kearifan Lokal Dalam        Pengelolaan Hutan Kawasan Adat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba, dalam “Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan”, oleh Andi M. Akhmar dan Syarifuddin (penyunting), Masagena Press, Makassar

Nababan, A. (1995), Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Hidup Indonesia, dalam “Analisi CSIS”, Nopember-Desember, Tahun XXIV, No. 6: 42-43

Sani M. Yamin, (2007), Palawang: Kearifan Tradisi Nelayan Nitue Dalam  Aktivitas Penangkapan Ikan di Perairan Danau Marioriawa Kabupaten Soppeng, dalam “ Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan, oleh Andi M. Akhmar dan Syarifuddin (penyunting) , Masagena Press, Makassar

Suradi, dkk, (1983), Ungkapan Tradisional Daerah Sulawesi Tengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek IDKD, Palu            




Sumber : https://media.neliti.com/media/publications/28500-ID-kearifan-lokal-masyarakat-kaili-di-sulawesi-tengah.pdf

۞ MEDIA - SOSIAL ۞