TAIGANJA

Beberapa jenis Taiganja

BENDA PURBAKALA

Beberapa Benda Purbakala yang ada di wilayah Sulawesi Tengah.

SITUS MEGALIT

Beberapa Situs Megalit di Wilayah Napu.

SULTENG Daerah 1000 Megalit

Sulawesi Tengah dicanankan sebagai Daerah Seribu Megalit ...

PETA TUA

Peta Tua Wilayah Indonesia.

Rabu, 24 Juli 2024

Pertukaran dan Penyebaran Bahasa Suku Kaili Ledo dan Suku Kaili Ija

 

Pertukaran dan Penyebaran Bahasa Suku Kaili Ledo dan Suku Kaili Ija

Langit yang berawan ditemani suara kumbang hutan, burung yang terbang, dan semilir angin bertiup menghias siang itu. Jalan setapak dari tanah cokelat aluvial berbatu-pasir yang menanjak dan berliku menjadikan jalur pendakian yang amat mendebarkan di atas sepeda motor. Berlatar tebing dan jurang di kanan kiri, menuntut keterampilan pengendara melatari tantangan perjalanan ke sebuah kampung yang dipercaya sebagai wilayah asal muasal dari Etnis Kaili Ledo, Kampung Raranggonau.

 

Sabtu sore, 21 April 2018, Tim dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengawali proses registrasi dan verifikasi wilayah adat di Kampung Raranggonau. Kampung yang juga menjadi dusun ke empat bagi Desa Pombewe dan berada di ketinggian 900 mdpl itu menjadi tempat tinggal bagi Masyarakat Adat Kaili Ledo yang dahulunya berasal dari Gunung Lendo. Kaili merupakan nama suku yang memiliki puluhan rumpun dengan bahasa yang berbeda-beda dan tersebar di seluruh wilayah Sulawesi Tengah. Adapun “Ledo” bermakna “Tidak” makna yang sama pada kata “Ija” dari Suku Kaili Ija yang merupakan rumpun suku lain yang berbatasan dan hidup berdampingan dengan Suku Kaili Ledo sejak masa lalu hingga kini. Para pemimpin dahulu yang dikenal sebagai Madika dari kedua suku itu dipercaya memiliki hubungan keluarga meski memiliki bahasa yang berbeda. Hal itu diutarakan oleh Ricu, seorang tokoh adat satu tokoh adat Kaili Ledo di Kampung Raranggonau yang juga pejabat Ketua BPD desa Pombewe.

 

Pada saat proses verifikasi bersama dengan tim BRWA dan para tokoh adat lainnya, Ricu menceritakan bahwa telah ada pertukaran bahasa lokal di antara Suku Kaili Ledo dan Kaili Ija. Ricu meyakini bahwa adanya hubungan yang harmonis antara para Madika dan masyarakat dari kedua suku tersebut yang menjadi penyebab terjadinya pertukaran bahasa. “Jadi dulu itu ada permintaan dari Kaili Ija untuk saling bertukar bahasa, lalu terjadilah kesepakatan itu, dan kita saling bertukar bahasa, yang kita pakai sekarang adalah bahasa Ija dan yang dipakai mereka adalah bahasa Ledo, dan itu sudah tersebar di Bora sana,” ujar Pak Ricu yang diiringi anggukan tokoh adat lain yang hadir kala itu. Bahasa kedua suku itu memiliki perbedaan untuk beberapa kata dan diwariskan kepada turun-temurun pasca pertukaran sehingga pengetahuan tentang “bahasa asli” tidak lagi berada dalam skema kognisi mereka sepenuhnya saat ini. Orang-orang Kaili Ledo dan Kaili Ija hingga kini masih berinteraksi satu sama lain setidaknya dalam urusan perdagangan rotan. Masyarakat Suku Kaili Ija berkembang hingga ke Boru, wilayah yang menjadi pusat administrasi Kabupaten Sigi sehingga dengan kata lain bahasa Ledo seakan menjadi bahasa umum yang digunakan di sana.

 

Adapun Suku Kaili Ledo yang berasal dari Gunung Lando, Raranggonau menyebar ke berbagai tempat sejak tahun 1960an oleh karena desakan “orang berbahasa Indonesia”. Setidaknya mereka menyebar untuk bersembunyi dan berkembang menjadi kampung baru di enam wilayah yaitu 1. Desa Rejeki (1957), 2. Dusun Parigi Bonebula (1962), 3. Desa Parigi Gangga (1962), 4. Dusun Maranata (1962), 5. Dusun Manggalapi (1971), dan 6. Dusun Palolo Bampres (1977). Namun, sebagian dari mereka yang merindukan kampung halamannya, kembali ke Raranggonau yang saat ini termasuk ke wilayah Desa Pombewe. Sejak itulah Masyarakat Kaili Ledo itu menyebar ke berbagai wilayah di Sulawesi Tengah membawa bahasa Ija di dalam lisan mereka. Pada saat tulisan ini dibuat, Masyarakat Adat Kaili Ledo Lando yang bermukim di kampung Raranggonau telah meregistrasi data sosial dan peta wilayah adatnya ke BRWA untuk dijadikan bahan dalam mengakses pengakuan dan pelindungan hak-hak mereka.

 

Sumber : DISINI

Senin, 24 Juni 2024

Sejarah Singkat Masyarakat Adat Pekurehua Boya Watutau

 

Sejarah Singkat Masyarakat adat

Desa Watutau sudah di huni oleh manusia sejak jaman prasejarah yang dapat di buktikan dengan patung-patung megalit dan Kori Bengki atau Periuk yang di gunakan sebagai alat memasak dan tempat pemakaman.Usia patung Watu tau diperkirakan ± 3000 SM. Watutau adalah anak tertua dari Datu Tambolo. Sebelum menjadi sebuah desa,masih berbentuk Wanua/tempat berkumpulnya puluhan KK dalam 1 rumah dan di pimpin oleh seorang Tuana (bangsawan). Dibuktikan dengan adanya: Tiang rumah yang terbuat dari batu ada di gunung Bangkebalu, Mbanga adalah kuburan, juga patung berbentuk peti mati, Leboni ada pekuburan, Mpadali adalah batu orang, Gumora adalah batu orang, Watumolindo adalah batu orang, Halukoi/haluwua dalah batu orang dan pekuburan.

Semua penduduk yang tersebar di wanua-wanua dipimpin oleh seorang bangsawan yang berkedudukan di Boea Lamba (kampong lamba) yang sekarang menjadi lokasi KTM tampo lore tahun 2008. Kampong Lamba dulunya adalah tempat orang-orang tua (bangsawan) bermusyawarah untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan. Pada abat ke 19 terjadi wabah penyakit yang mengakibatkan banyak masyarakat yang meninggal, sehingga masyarakat pindah di kampung Watutau sampai sekarang. Kampung Watutau dipimpin oleh Tuana (bangsawan) bernama Ama alias Umana soli. Tahun 1907 terjadi perang Peore, perang antara masyarakat watutau melawan penjajahan belanda, yang mengakibatkan gugurnya Ama serta Koloni-koloninya.

Di abad ke 20 dikuasai oleh pemerintahan kompeni belanda. Sejak itulah pemerintahan seluruh tampo Ada Lore dipegang oleh Kabo sebagai Raja/magao pada tahun 1913 yang pada kemudian wafat pada tahun 1946. Kemudian pemerintahan tersebut dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Sudara Kabo dan masa kepemimpinannya berkisar 1946-1953. Selanjutnya Berobah istilah pemerintahan dan bukan lagi Raja tetapi menjadi Suap Raja yang dipimpin oleh YONTO PELIMA dari 1954-1957. Pada tahun 1958, 1959 hingga tahun 1961 berubah istilah pemerintahan menjadi kecamatan Lore yang berkedudukan diwatutau yang dipimpin oleh Tomas Gembu. Wilayah Desa Watutau selain dihuni oleh masyarakat asli Watutau, dikampung ini juga terdapat beberapa suku pendatang antara lain suku Pamona, Jawa, Bugis, Toraja, Kaili, Bali, Manado dan Gorontalo.

 

Batas Wilayah

Batas Barat         Berbatasan dengan kec. Kulawi, Gunung(bulu) Mangku Desa Katu sungai Mungku, Desa Talabosa tanda batasnya: sungai Halukoa, Desa Betue sungai Haluwua

Batas Selatan     Berbatasan dengan Desa Talabosa Tanda batas: sungai Urana, Desa Bomba kec. Lore Selatan (hulu sungai Malei)

Batas Timur        Berbatasan dengan Desa Sanggihora kec. poso pesisir selatan, Tanda batas: Sungai (owai) Halumomi, Karatu wimbi

Batas Utara         Berbatasan dengan Desa Wanga, Tanda batas: Sungai Tandu baula, Desa Maholo, Padang (pada) Oni, Desa Winowanga (peternakan), Gunung(bulu) Tuturore, dan Desa Kahiono.



Sumber : DISINI

Selasa, 11 Juni 2024

Tentang Masyarakat Adat





 

Keragaman Budaya Palu Sulawesi Tengah

 

Keragaman Budaya Palu (Sulawesi Tengah)

         Keragaman peninggalan warisan budaya masa lalu di Sulawesi Tengah, khususnya peninggalan megalitik yang mempunyai ciri khas merupakan pengetahuan kebudayaan atas cipta, karya dan rasa masyarakat ada masa lampau yang menmpunyai nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan suatu pedoman atas landasan untuk menetukan arah kebijakan dan strategi dalam pengambilan dan penentuan langkah diberbagai aspek kehidupan bangsa.

           Penelitian peninggalan arkeoloi di Sulawesi Tengah telah dilakukan oleh para peneliti bangsa Eropa sejak akhir abad 19, yang dimulai oleh Adriani dan A.C Kruyt dalam tulisannya “Van Poso naar arigi een Lindoe”  pada tahun 1898. Kemudian pada tahun 1938 Kruyt menerbitakan tulisannya “De West Toradjas in Midden Celebes”, dan dalam tulisan tersebut Kruyt menyebutkan beberapa tinggalan arkeologis di Kulawi seperti kalamba di Gimpu, batu dulang di Mapahi, dan peti kubur kayu di Lindu. Walter Kaudern, seorang peneliti kebangsaan Swedia pada tahun 1938 menerbitkan tulisannya “Megalithic Finds in Central Celebes”  dan sebuah tulisan tentang etnografi “Stucture and Settlements in Central Celebes”.

          Penelitian potensi arkeologi oleh peneliti Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1976 oleh Tim Proyek Penelitian dan Peninggalan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tim dipimpin oleh seorang arkeolog Haris Sukendar dan dalam penelitiannya sempat melakukan ekskavasi awal pada situs Suso di Padang Tumpara Lembah Bada Kabupaten Poso.

 

A.  ARKEOLOGI PRASEJARAH

Zaman Prasejarah adalah suatu periode kebudayaan manusia  yang masih terbatas dan sederhana. Pada masa ini pendukungnya belum mengenal tulisan dengan pola hidup sederhana, berpindah-pindah, berburu dan meramu. Perkembangan selanjutnya manusia mulai menetap, bercocok tanam sampai tingkat mengenal penggunaan logam.

Zaman paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, Megalitikum dan perundagian merupakan periodesasi zaman prasejarah yang dikenal Indonesia.

Peninggalan zaman prasejarah di Sulawesi Tengah pada masa Poleolitikum dan masa Mesolitikum hingga saat ini belum ditemukan. Tetapi peninggalan tertua berasal dari masa Neolitikum berupa penemuan kapak batu di Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso pada tahun 1976. Sedangkan peninggalan masa Megalitikum dan masa perundagian berupa temuan-temuan menhir, arca menhir, kalamba, tempayan kubur dan benda-benda yang terbuat dari logam seperti kapak perunggu yang tinggalannya tersebar di Sulawesi Tengah.

1)  Tingalan Masa Mesolitikum, seperti Fosil Gajah Purba/Stegodon di Wilayah Napu Kecamatan Lore, Kabupaten Poso

2)   Tinggalan masa neolitikum, Seperti Tradisi Pembuatan Kain Kulit Kayu (Peralatan dan Berbagai Bentuk Kain Kulit Kayu dan Tradisi Pembuatan Gerabah).

3)      Tinggalan Masa Megalitikum, seperti Patung/Arca Aatu, Kalamba, Gerabah Kubur dan Gelang Batu.

4).   Tinggalan Masa Perundagian, seperti tau-tau, Taiganja dan Sagala.

 

 B.   ARKEOLOGI KLASIK

 

Berbagai Tinggalan Keramik Asing :

1)      Keramik Cina dari berbagai Macam Dinasti, sep-erti Dinasti Tang, Yuan, Sung, Ming dan Yuan.

2)      Keramik Jepang, Muangthai dan Vietnam.

 

C.   ARLKEOLOGI ISLAM

Islam mengalami pertumbuhan dan perkembangan, dibuktikan dengan berdirinya organisasi-organisasi Islam seperti: pada tahun 1917 Syariat Islam masuk ke Sulawesi Tengah (12 tahun setelah belanda menjajah di Sulawesi Tengah).

Untuk Kabupaten Donggala dan Kota Palu dibawahi sendiri oleh pendirinya yaitu HOS Tjokro Aminoto, sedangkan untuk wilayah oli-toli dibawah oleh sorang sahabatnya yaitu Sastro Kardono. Organisasi yang didirika di Palu, yang kemudian menjadi suatu organisasi yang besar dan sangt berjasa dalam pengmbangan agama Islam di Sulawesi Tengah adalah organisasi “Al-chaerat”, serta dibuktikan dengan peninggalan arkeologi Islam di Sulawesi Tengah seperti bangunan Masjid Tua di Bungku, Masjid Tua Una-una, Masjid Tua di Palu.

Masjid Tua Una-una

Selain itu, terdapat pula peninggalan Makam Penyiar Agama Islam dan Raja-raja, Naskah-naskah kuno dan Kaligrafi.

 

D.  ARKEOLOGI KOLONIAL

        

 Peninggalan benteng pertahanan atau Bunker Veilbox di pesisir pantai Toli-toli.

 DR. Adrini tiba di kota Poso pada bulan Desember 1895, Ia melakukan pembuatan peta geografi dan topografi atas seluruh wilayah yang didatanginya. Akhirnya Ia meninggal pada Tahun 1926 di kota itu dan dimakamkan di tempat pemakaman umum yang sekarang menjadi situs.

 Peninggalan lainnya pada masa ini adalah bangunan Gereja Tua (Gereja Katolik) di Jl. Patimura dan gedung PKKD (Pusat Koperasi Kopra Donggala) di Tanjung Batu.

 

Sumber: Museum Daerah Sulawesi Tengah

Taiganja Sebagai Simbol Kemegahan Budaya Kaili





Budaya adalah warisan yang memperkaya identitas sebuah suku. Bagi Suku Kaili, yang berasal dari Sulawesi Tengah, taiganja bukan sekadar perhiasan. Taiganja melambangkan kemewahan, kemegahan, dan penghormatan terhadap tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.  


Keindahan Taiganja dalam Detail

Taiganja adalah jenis perhiasan tradisional khas Kaili, yang biasanya dibuat dari emas, perak, atau logam lain yang berharga. Desainnya penuh ukiran halus yang terinspirasi dari alam dan nilai-nilai budaya lokal. Perhiasan ini digunakan sebagai aksesoris pada acara adat, seperti pernikahan, penyambutan tamu penting, hingga upacara tradisional lainnya.  


Sebagai simbol status sosial, taiganja tidak hanya berfungsi sebagai penghias tubuh, tetapi juga menunjukkan kekayaan, martabat, dan keanggunan pemakainya. Proses pembuatannya yang rumit mencerminkan keahlian tinggi para pengrajin tradisional Kaili, yang menjaga detail dan nilai seni dalam setiap karya mereka.  



Peran Taiganja dalam Tradisi Kaili 

Dalam adat Kaili, taiganja sering digunakan oleh kaum wanita, terutama dalam upacara pernikahan. Perhiasan ini dipakai bersama pakaian adat, melengkapi penampilan pengantin perempuan dengan keanggunan khas budaya Kaili.  


Taiganja juga sering diberikan sebagai hadiah kepada tamu istimewa atau tokoh masyarakat, sebagai bentuk penghormatan. Dalam beberapa tradisi, taiganja digunakan sebagai mas kawin atau tanda perjanjian, menekankan peran pentingnya dalam kehidupan sosial dan budaya Kaili.  


Simbol Filosofis Taiganja 

Lebih dari sekadar perhiasan, taiganja memiliki nilai filosofis yang mendalam. Ukiran-ukiran pada taiganja sering kali melambangkan kebijaksanaan, keberanian, dan keharmonisan dengan alam. Hal ini sejalan dengan pandangan hidup Suku Kaili yang menjunjung tinggi keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.  


Melestarikan Warisan Budaya  

Di era modern, tantangan dalam melestarikan taiganja sebagai warisan budaya semakin besar. Generasi muda Suku Kaili sering kali kurang mengenal nilai dan filosofi di balik taiganja. Namun, upaya pelestarian tetap dilakukan melalui pendidikan budaya di sekolah, pameran seni, dan dukungan pemerintah daerah.  


Banyak desainer lokal kini mencoba mengangkat taiganja ke panggung internasional, menggabungkan elemen tradisional dengan sentuhan modern. Hal ini membuka peluang bagi taiganja untuk menjadi simbol budaya Indonesia yang mendunia, sambil tetap mempertahankan esensi lokalnya.  


Kesimpulan

Taiganja adalah cerminan dari kemegahan dan kekayaan budaya Suku Kaili. Lebih dari sekadar perhiasan, taiganja menyimpan cerita tentang kehidupan, tradisi, dan kebijaksanaan nenek moyang. Melestarikan taiganja berarti menjaga identitas Suku Kaili dan memastikan warisan budaya ini tetap hidup untuk generasi mendatang. 


Sumber : https://karebakakitapura.blogspot.com/2025/01/taiganja-sebagai-simbol-kemegahan-dalam.html?fbclid=IwZXh0bgNhZW0CMTAAAR1ILnOyAzkICG_6u0b0tChgsOxiS7Kvq6NIPDJWqoSsCROK5CCoo_HOq88_aem_sBcQqYX6xWHaamfvF2HV7w 

۞ MEDIA - SOSIAL ۞