Kamis, 11 Juni 2020
SK Bupati Sigi Tentang PPMHA
Kearifan Lokal Masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAILI
DI SULAWESI TENGAH
Oleh: Sukmawati Saleh
ABSTRAK
Kearifan lokal merupakan warisan
leluhur turun temurun mengandung nilai-nilai positif dan nilai-nilai spritual
untuk dijadikan pedoman dalam bersikap dan bertingkahlaku (pattern of action).
masyarakat Kaili yang merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah di
Sulawesi Tengah juga memiliki seperangkat pengetahuan lokal yang merupakan pola
dari budaya Kaili yang mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari seperti
padda pelestarian hutan, perairan danau Lindu, pantangan atau pemali dalam
bertutur atau berucap, dan upacara adat lainnya. Keselarasan hidup yang
terjabarkan dari kearifan lokal masyarakat Kaili apabila dijaga dan terus
dipelihara keberlangsungannya maka akan senantiasa memberikan keseimbangan
ikatan antara manusia dan alam. Demikian juga dengan tabu, pantangan atau pemali
dan sanksi-sanksi terhadap berbagai pelanggaran dari kearifan lokal yang masih terjaga
semuanya berorientasi kepada penjagaan kelestarian, keselarasan hubungan antara
manusia dan alam tempatnya bermukim.
Kata Kunci: Kearifan Lokal,
Masyarakat Kaili
PENDAHULUAN
Secara garis besar bahwa ungkapan
pada umumnya menggambarkan latar belakang kehidupan sosial budaya pada suatu
komunitas yang diwariskan secara turun temurun dalam bentuk pertama “ sisidu “
atau pantun kilat, kedua, “vaino atau kajori “ bersifat pantun, ketiga “ tindua
“ bersifat syair. Makna ungkapan itu berupa nasehat misalnya untuk berbuat
baik, mematuhi norma-norma adat istiadat, nasehat untuk meninggalkan perbuatan
yang tercela, sikap dan perilaku yang bersifat kewenangan dan tidak bertanggung
jawab. Pesan-pesan yang disampaikan itu diperuntukkan kepada kelompok-kelompok
atau unit-unit sosial termasuk generasi muda ( remaja putra- putri) dan anggota
masyarakat lainnya. Ungkapan secara lisan itu disampaikan oleh orang-orang tua
yang disebut “to tua ngata” yaitu tokoh masyarakat yang dituakan dan menguasai
adat istiadat. Oleh karena itu, ungkapan sisidu dalam masyarakat Kaili mengandung
makna dan simbol, berbagai aspek kehidupan sehari-hari, baik individu, keluarga,
kelompok maupun warga komunita lainnya.Ungkapan secara lisan yang merupakan
tradisi lisan dalam antropologi digolongkan kajian “ Etnografi Naratif “ (lihat
Denzin, 2009: 615).
Di Sulawesi Tengah pada umumnya,
dan masyarakat Kaili khususnya memiliki kearifan lokal (local wisdom) dalam
melestarikan ungkapan-ungkapan, pantangan atau pemali, dan upacara adat
lainnya, sebagian penganutnya masih dijumpai pada setiap kelompok masyarakat
tradisional. Ungkapan-ungkapan berlatar dari bahasa yang mengandung makna dan
interpretatif simbolik yang memungkinkan mereka untuk beraction, berdasarkan
interpretasi mereka terhadap ungkapan-ungkapan tersebut. Suku Kaili merupakan
etnis yang terbesar populasinya dibandingka suku- suku lainnya, tersebar di
beberapa kabupaten di Sulawesi Tengah, mengenal lebih dari dua puluh bahasa
yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, suku
Kaili memiliki “lingua pranca” yang dikenal sebagai bahasa “Ledo”. Kata ledo
berarti “tidak”. Bahasa Ledo ini digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa
Kaili lainnya, dan masih ditemukan bahasa asli yang belum dipengaruhi bahasa
para pendatang, yaitu di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara bahasa Ledo
yang dipakai oleh masyarakat Kaili di kota Palu, dan Biromaru (bahasa Kaili
Ado, Kaili Tara, Kaili Ija, Kaili Edo ), Donggala (bahasa Unde dan Doi) dan
Parigi dan sekitarnya (bahasa Kaili Tara dan Rai), sudah terasimilasi dan
terkontaminasi dengan beberapa bahasa pendatang, terutama Bugis dan Melayu.
Semua kata dasar bahasa-bahasa yang disebutkan itu berarti “tidak”
Ungkapan yang dimaksudkan dalam
tulisan ini, diucapkan dan disampaikan dalam upacara-upacara adat, pertama,
upacara perkawinan, diiringi tarian no-Rego, kesenian berpantun remaja
putra-putri, kedua, upacara kematian (no-Vaino, menuturkan kebaikan-kebaikan
orang meninggal), ketiga, upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji yang
diperuntukkan dewa kesuburan), keempat, upacara penyembuhan penyakit (no-Balia,
ritual penyembuhan melalui orang-orang yang kemasukan roh-roh leluhur yang
telah meninggal). Selain itu, beberapa pantangan, tabu atau larangan, menurut mereka
bila dilanggar akan dikenakan sanksi adat yang merupakan bentuk kearifan di
dalam pemeliharaan dan pengelolaan sumber daya alam, sekaligus menjadi kerangka
orientasi nilai-nilai budaya (cultural values) yang dipatuhi bersama oleh warga
masyarakat. Oleh karena itu kearifan lokal yang merupakan warisan leluhur turun
temurun mengandung nilai-nilai positif dan nilai-nilai spritual untuk dijadikan
pedoman dalam bersikap dan bertingkahlaku (pattern of action). Selain ungkapan yang
diuraikan itu, masyarakat Kaili juga memiliki pengetahuan lokal dalam pelestarian
hutan, perairan danau Lindu, pantangan atau pemali dalam bertutur atau berucap,
dan upacara adat lainnya. Sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini.
KEARIFAN LOKAL
MASYARAKAT KAILI
Masyarakat Nelayan Pesisir Danau
Lindu
Alat penangkapan ikan dengan
teknologi sederhana yaitu pukat atau jaring (Landa=bahasa Kaili) dan pancing
(Peka=bahasa Kaili) atau Kipu (perangkap ikan). Diantara jenis ikan yang dapat
ditangkap dan dikonsumSI oleh penduduk setempat yaitu sumi-sumi, karper, uru
(ikan gabus, ikan kosa, ikan pajanggo (ikan lele), gurami, mujair, belut, ikan
tawes. Ikan yang tidak boleh ditangkap adalah ikan jenis masapi (sugili)
diyakini ikan jadi-jadian, dengan panjang kira-kira 50 cm, besar dan beratnya melebihi
sugili biasa.
Untuk menjaga eksistensi danau
lindu, diberlakukan pantangan atau tabu menangkap ikan pada masa atau waktu
tertentu yang disebut “ Masa Ombo” kearifan lokal dalam bentuk pelarangan
menangkap ikan. Ombo terdiri atas: Ombo Ngiki, Ombo Suaka, dan Ombo Pemerintah.
Masa Ombo bertujuan untuk mengatur dan mengontrol populasi ikan agar tetap
stabil. Ombo Ngiki yaitu pantangan menangkap ikan di danau, sedang di darat
pantangan melakukan pesta, kecuali aktivitas biasa tiapa hari, pelarangan ini merupakan
keputusan hasil musyawarah di empat desa yaitu. Desa Puroo, Langko, Tomado dan
Anca. Waktunya sampai tiga bulan, sekaligus untuk mengontrol populasi ikan di
danau. Selain itu, ikan mujair yang kecil tidak boleh ditangkap atau dijual, kalaupun
terjaring harus dilepas kembali ke danau, karena ikan mujair yang kecil dapat
memakan jentik nyamuk malaria. Ombo Suaka, berlaku selama 40 hari jika ada salah
satu keluarga Madika (bangsawan dan keluarganya) meninggal dunia, hanya dibatasi
wilayah penutupan lokasi penangkapan ikan, sesuai daerah atau tempat tinggal
madika tersebut, termasuk tokoh adat yang dihormati dan dituakan di desanya. Khusus
Ombo pemerintah berlaku pelarangan penangkapan ikan kalau dianggap bahwa
benar-benar dalam kondisi kerusakan yang sangat parah selama dua bulan. Dengan
kata lain, pemerintah dan warga masyarakat setempat berupaya menjaga kerusakan
perairan danau Lindu dalam waktu-waktu tertentu dilakukan pemulihan dan pemeliharaan.
Kearifan nelayan untuk memberi
kesempatan ikan-ikan berkembang biak, sehingga mereka dituntut untuk menjaga
ekosistem danau tersebut, sebagai sebuah fishing ground (Sani, 2007:106). Dalam
hal ini, ombo berfungsi sebagai tindakan pelarangan menangkap ikan untuk
menjaga kepunahan populasi ikan. Kearifan tradisi tercermin dari perilaku
mereka yang memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap lingkungan alam yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya (Nababan, 1995 dan Adimihardja,
1999) karena menurut mereka pengetahuan lokal merupakan refleksi dari kebudayaan
masyarakat setempat, di dalamnya terkandung tata nilai, etika, norma, aturan
dan keterampilan dalam memenuhi tantangan hidupnya. Dengan kata lain, ombo
tidak sekedar berdimensi normatif karena sanksi-sanksi bagi pelanggarnya, tidak
juga berdimensi ekonomi, tetapi danau diyakini sebauh misteri yang dikuasai oleh
mahluk-mahluk supranatural. Oleh karena itu masyarakat kaili dalam tradisinya setiap
melakukan aktivitas penangkapan ikan selalu disertai atau diawali oleh sebuah ritual.
Sanksi terhadap pelanggaran ombo
berupa teguran secara langsung dari pemuka adat, diyakini bahwa pelanggaran
ombo berakibat kena bala seperti, sakit atau meninggal dunia, khususnya
pelanggaran ombo suaka.Sanksi lainnya berupa denda 10 dulam, (piring adat) satu
buah kain mbesa (kain adat) satu ekor sapi atau kerbau. Selain itu, hubungan
Topo Lando (nelayan) dengan Danau Lindu, memiliki alat tangkap yang ramah
lingkungan baik yang dikembangkan atau yang diadopsi dari luar, seperti, landa (pukat/jaring)
dengan ukuran 4 (empat) jari, dimaksudkan untuk menjaga habitat ikan yang
ditangkap dengan jaring, ikan yang terjaring lebih kecil dari ukuran 4 (empat) jari
akan dilepaskan kembali ke danau.
Kearifan Lokal Pelestarian Hutan
Pengetahuan tentang vegetasi yang dapat menjaga kelestarian hutan dan erosi
yang berada di sekitar danau lindu, antara lain: kayu tea, kayu beata, kayu
mona, kayu kapa, kalibau. Jenis kayu yang disebutkan itu berlaku pelarangan
untuk ditebang, hanya yang dibolehkan diambil adalah ranting-ranting yang
kering diperuntukkan kayu bakar. Maksudnya untuk mengantisipasi agar air di
danau tidak melimpah yang dapat menyebabkan tanah menjadi lonsor, tertutup
sungai yang mengalir ke danau atau air danau meluap yang berakibat banjir.
Selain itu, bagi masyarakat Kaili juga berlaku secara adat dalam
melestarikan hutan dengan jenis pohon yang harus dilestarikan seperti, pohon
malabano, nokilana, maravola, malasia, dan tanjaibo. Untuk menjaga mekanisme
pelarangan dan pelestarian hutan, diperlakukan aturan dengan istilah “Ombo”
artinya selama masa ombo diberlakukan secara adat, maka jenis pohon yang ada
di hutan tidak boleh ditebang atau
diambil pohonnya, kecuali ranting-ranting yang kering untuk dijadikan kayu bakar,
maksudnya upaya masyarakat untuk tetap melestarikan hutan agar tidak kena
longsor atau bahaya banjir yang bisa merusak lingkungan dan perumahan. Namun,
faktanya illegal loging (pencurian kayu), pembabatan hutan dan pembakaran hutan,
terutama masyarakat nomaden (Kaili Daa) atau petani berpindah-pindah, adalah
mereka yang menetap di daerah pegunungan Nikolalaki, masih sering melakukan
aktifitas seperti itu, cenderung pengrusakan terhadap lingkungan hidup dan
berlanjut terus hingga saat ini.
Kerusakan terhadap ekosistem hutan, pada umumnya masih berlaku di kalangan
komunitas adat terpencil, dengan pola tanam tebang, bakar dan panen. Mereka
pada umumnya masih hidup berpindah-pindah (nomaden). Dampaknya adalah tidak
hanya pada keseimbangan ekosistem (ecosystem equilibrium) semata, tetapi juga
akan merusak jaringan tatanan sosiokultur masyarakat lokal (local people) (Hijjang,
2007: 91). Sebagai contoh, banjir bandang pada tahun 1997, bersumber dari gunung
nikolalaki Donggala sebagai akibat hujan keras dan rusaknya ekosistem yang memakan
korban jiwa dan material lainnya bagi masyarakat kota Palu. Oleh karena itu
sistem pengetahuan lokal sebagai alat bantu pemecahan problem sosiolkultural sebagai
bagian dari kearifan lokal yang terintegrasi dalam lingkungan dan sistem kepercayaan
mereka, sehingga dianggap sangat bermanfaat, khususnya dalam persfektif
pengembangan pelestarian hutan yang berkelanjutan.
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAILI YANG BERHUBUNGAN DENGAN UPACARA ADAT,
UNGKAPAN, PEPATAH DAN KEPERCAYAAN LAINNYA
Komunitas adat Kaili masih menyimpan pesan-pesan atau ungkapan-ungkapan
yang bersumber dari leluhur mereka dalam bentuk ungkapan-ungkapan, berisi
larangan atau pantangan untuk melakukan sesuatu baik komunitas petani menetap
dan tidak menetap, nelayan, maupun masyarakat pesisir. Jika pesan-pesan
tersebut dilanggar, maka akan berakibat kehidupan yang tidak harmonis atau
disharmonisasi antar individu atau keluarga, lingkungan atau ekosistem dan
keseimbangan alam. Pesan- pesan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Kearifan Lokal Berbuat Baik Yang Berhubungan Kehidupan Sehari-Hari
“ Ane mamate rai nembali, pakadoli gau nemo mabali” artinya supaya selalu
hidup berbuat baik, jangan dicampur dengan kejahatan, sebab kalau sudah mati
bisa berubah wajah. Maksudnya dari ungkapan ini adalah larangan untuk berbuat
kejahatan selama masih hidup, justru yang dianjurkan selalu berbuat kebaikan
kepada sesama, keluarga, masyarakat dan sesama mahluk lainnya (flora dan
fauna), karena orang mati yang dibawa adalah amal ibadah di dunia. Dilanjutkan
dengan “ Ane raja madago, maria rasi” artinya kalau budi baik banyak untung,
maksudnya yang selalu berbuat baik diyakini akan dapat keuntungan atau rezki
yang besar, walaupu itu tidak ditahu darimana sumbernya, yaitu “Asala n tau
belo kana mabelo” artinya asal orang baik selalu berbuat baik” maksudnya kalau
asalnya atau turunannya berasal dari keluarga baik, maka tentu akan diwariskan
oleh turunannya keluarga yang baik pula. Dalam kehidupan sehari-hari yang
dicari adalah kebaikan yakni “Belo raelo belo rakava” artinya kebaikan dicari,
maka kebaikan pula yang diperoleh. Ungkapan ini dilanjutkan “ Belo raporia belo
rakava” artinya perbuatan yang baik, akan dibalas dengan yang baik. Ungkapan
ini merupakan nasehat kepada seseorang yang berusaha, jika diawali dengan niat
yang baik, maka tentu hasilnya juga akan baik, atau akan menguntungkan yang
bersangkutan.
Kearifan Lokal Yang Berhubungan Dengan Upacara Adat
“ Anesala ada ndapebuto” artinya jika salah adat, sakitnya bengkak yang
terkutuk, maksudnya orang yang melanggar adat tidak mematuhi aturan dan
norma-norma serta tidak menghargai nilai-nilai yang berlaku dalam komunitas
itu, maka sanksi yang dijatuhkan oleh to tua ada (orang tua adat), dikutuk sakit
dengan penyakit bengkak seluruh tubuhnya. Sanksi ini juga berlaku bagi
anak-anak yang tidak tahu adat yakni “ Topogero Libu” artinya orang yang selalu
mengganggu pembicaraan orang-orang tua dalam suatu pertemuan, karena itu mereka
dicap atau dilabelkan sebagai “ Tau nasala vati” artinya orang yang kurang
memenuhi tuntutan adat, maksudnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak
menghargai adat istiadat yang berlaku dalam kounitas itu. Oleh karena itu,
orang yang seperti ini adalah “Topo mba capa-capa to tua” yakni orang yang
selalu memandang rendah pada oran g tua, tidak beradab atau tidak berakhlak
atau tidak memiliki etika, maka orang seperti ini diyakini tidak akan berbahagia
dalam hidupnya, karena mereka akan ditinggalkan sesamanya baik keluarga maupun
masyarakatnya.
Komunita Kaili memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari yang biasanya kalimat-kalimat yang disampaikan itu dari orang-orang
tua berupa nasehat pesan atau peringatan yang ditujukan kepada orang-orang yang
suka berlagak sombong, seperti orang yang berilmu, padahal pada dirinya
memiliki kekurangan. Typologi orang-orang seperti ini perlu dihindari dari
pergaulan, melalui makna dan pengertian ungkapan-ungkapan yang diuraikan di
bawah ini, sebagai berikut:
Kearifan lokal yang berisikan ungkapan-ungkapan
Pepatah, pantangan atau tabu
Dicontohkan orang yang boros, banyak bicara , sombong dan angkuh. “ Apa
kura kumpaina madotapa rai mo ria” artinya orang yang boros, nanti kehabisan baru
timbul penyesalan. Maksudnya orang yang suka hidup berpoya-poya, glamour, termasuk
boros dalam pengeluaran dan tidak memiliki manajemen untuk mengatur kebutuhan
mereka sehari-hari, sehingga apapun yang dimilikinya akan habis, dengan kata
lain orang seperti ini diumpamakan orang yang bangkrut, penyesalan pun terjadi setelah
semua sudah habis atau musnah, termasuk harta benda yang dimilikinya, maka orang
seperti ini diumpamakan sebagai “ Mau bulu maduraja” artinya orang yang boros
dengan kekayaannya akhirnya hidupnya menjadi orang yang melarat. Oleh karena
itu, orang tua memberi simbol typologi orang seperti ini adalah “ Da ri dali uve
na ongamo” artinya orang yang berlagak sombong, mulut besar, sedang pengetahuannya
sedikit, maka orang yang seperti ini adalah “Da nanavu da nirumpu ntangga”
artinya jatuh sambil ditimpa anak tangga, maksudnya orang seperti ini akan mendapat
musibah terus menerus.
Selanjutnya ungkapan ini
dipertegas lagi yang sifatnya mengejak atau mengolok-olok yakni “ To nitana
sunji kapeona” artinya orang yang menanam cincin emas di kolong rumahnya
maksudnya ucapan yang sifatnya mengejek bagi orang-orang yang berlagak sebagai orang
mampu dan bersifat sombong, padahal tidak memiliki apapun yang bisa diandalkan,
seperti pengetahuan, pengalaman dan harta benda lainnya. Ungkapan ini dilanjutkan
yakni “ dopa notodai nokelumo” artinya belum buang air besar sudah dibasuh atau
belum ada hasil, tetapi sudah disebarluaskan. Maksudnya sikap seseorang yang bermulut
besar, terutama bagi orang-orang yang bekerja belum pasti berhasil, tetapi
sudah disebarluaskan atas pekerjaan itu kepada orang lain, karena kalau tidak
berhasil atau gagal, otomatis akan mendatangkan malu kepada yang bersangkutan.
Nasehat ini berupa ajaran moral bahwa suatu usaha yang belum pasti kebenaran
dan keberhasilannya tidak perlu digembor-gemborkan ke mana-mana, padahal usaha
itu tidak mempunyai manfaat bagi orang lain.
Pepatah yang berhubungan dengan orang yg tidak suka bergaul dan tidak tetap
pendirian (plin plant).
Komunitas Kaili masih mempercayai bagi orang-orang yang tidak mudah bergaul
atau terisolasi dengan komunitasnya, tidak menghargai bantuan orang lain dan
merasa kuat sendiri, yakni “ Eva to natuvu mpo vatu” artinya orang yang hidup
sebagai batu, maksudnya orang yang keras kepala seperti batu, merasa kuat dan
mampu, padahal disatu sisi memiliki kelemahan, sehingga orang seperti ini
dilabelkan sebagai manusia tidak pandai bersilaturrahiim. bahkan orang yang
seperti ini tidak mau mendengarkan nasehat- nasehat dari keluarga dan warga
lainnya, karena “ No talingan vatu no ntuli ase” artinya bertelinga batu yang
tahinya besi, maksudnya bagi orang-orang yang samasekali tidak mendengar
nasehat atau mendengar orang-orang yang memberikan nasehat atau apa yang disampaikan
orang tidak pernah dilaksanakannya. Orang-orang seperti ini diungkapkan sebagai
orang yang egoisme, hanya mau menang sendiri, dan tidak memiliki pendirian tetap,
yakni “ Umba-umba asala meumba” artinya mana-mana saja asal terapung, maksudnya
ditujukan pada orang yang tidak memiliki pendirian tetap, tidak berkepribadian
yang utuh, dan selalu ingin berkuasa, Orang yang seperti ini harus dihindari
dari pergaulan, karena bisa membahayakan bagi orang lain, sebagai provokator dan
dapat menyulut perselisihan diungkapkan “To ndoe ade” artinya orang yang
berlagu panjang, suka membawa bicara, suka membuat isu yang negatif, sehingga
dapat menimbulkan perselisihan, perkelahian, dan konflik antar individu,
keluarga, dan antar desa.
Ungkapan Orang Yang Diberi Tugas dan Tanggung Jawab
“da ri uluna da nasiromu di layanpa Nopenga-pengamo” artinya dari hulunya
masih bersatu, dihilirnya bercabang-cabang. Maksudnya ungkapan ini merupakan
nasehat bagi orang-orang yang diserahkan tugas dan tanggung jawab untuk tidak
disalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang dipercayakan oleh masyarakat.
Sebaliknya jika bertindak semaugue menurut kemauan sendiri, merupakan pertanda
awal perpecahan yang mengakibatkan kesatuan dan persatuan tak dapat lagi
dipertahankan, karena memunculkan terjadinya disharmonisasi dalam pekawanan
atau persahabatan baik individu, kelompok maupun masyarakat. Makna ungkapan
lebih luas kalau diterjemahkan berupa pesan agar tetap menjaga persatuan dan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ungkapan ini dilanjutkan dengan kalimat “
Nemo aga montalu mpo iti” artinya jangan seperti itik, tahunya bertelur tetapi
tidak mau mengeram dan menetasnya. Maksudnya ungkapan ini adalah nasehat kepada
seseorang yang tiadak mau bertanggung jawab, berani berbuat berarti berani juga
bertanggung jawab.
Ungkapan Nasehat Bekerja Secara Hati-Hati
“ Dopa nisama jara nagovamo” artinya belum dikekang kudanya sudah berlari, maksudnya
ungkapan bagi seseorang yang bertindak melakukan sesuatu pekerjaan atau keputusan
yang terlalu cepat atau tergesa-gesa, tanpa memikirkan akibatnya atau tanpa persiapan
yang mengakibatkan perbuatan itu fatalism suatu kerugian yang tidak terhindarkan.
Oleh karena itu, dibutuhkan ke hati-hatian dalam memanajemen sesuatu pekerjaan
agar rasionalitas dalam membuat persiapan-persiapan sebelum bertindak, kecorobohan
bekerja, maka setiap saat bahaya akan mengancam baik pada diri sendiri maupun
yang berhubungan langsung dengan pekerjaannya, terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga dibutuhkan
kewaspadaan, ketenangan dan kesabaran.
Simbol-Simbol Yang Berhubungan dengan Kepercayaan
Membangun rumah baru, terutama rumah panggung yang tiang-tiangnya menggunakan
kayu, maka di tengah-tengah rumah “posi banua” atau “posi karava” biasanya
dilengkapi dengan bahan-bahan yang diikat atau digantung pada tiang tengah rumah
berupa: pisang mengkal satu tandan, nangka besar yang sudah masak, tebu dan air
garam satu botol. Maksudnya agar pemilik rumah tidak akan kekurangan rezki, banyak
anak, kehidupannya berjalan mulus, dan terhindar dari bahaya binatang melata.
Selain itu, pada waktu pindah rumah baru, pantang mengeluarkan barang-barang
dari rumah selama tiga hari tiga malam seperti perabot rumah tangga, menyapu kotoran
atau sampah ke luar rumah, maksudnya jangan sampai rezki itu ke luar semua atau
ada diantara anggota keluarga yang ke luar atau meninggal.
Pantangan atau tabu yang
berhubungan dengan upacara adat dan kehidupan sehari-hari,
Dalam upacara pesta perkawinan samasekali tidak dibenarkan memecahkan
sesuatu selama berlangsungnya prosesing upacara, seperti piring, gelas atau
barang pecah lainnya. Maksudnya menurut kepercayaan mereka kalau ada barang
yang pecah sewaktu berlangsungnya pesta perkawinan, maka usia perkawinan bagi
kedua mempelai tidak lama, artinya memungkinkan terjadi perceraian keduanya. Pantangan
yang berupa kalimat atau kata-kata yang tidak boleh diucapkan yaitu tabu atau
“puloru” atau katula yang ditujukan kepada anak-anak menyebut nama orang tua
pada waktu makan, karena makanan yang disantap oleh yang bersangkutan tidak
merasakan nikmat dan kekenyangan, kalau terpaksa harus menyebut nama orang tua
harus didahului dengan kata “kinaa saogu mbosu kumo” artinya biar makan sebiji atau
segenggam nasi sudah merasa kenyang. Demikian juga menyebut nama raja atau bangsawan,
harus terlebih dahulu memegang ubun-ubun kepala sebagai tanda hormat atau nama
raja diganti atau disebut nama lain.
PENUTUP
Masyarakat Kaili pada umumnya di Sulawesi Tengah, lebih menekankan ke
sakralan yang dimiliki perairan danau Lindu, hutan, pantangan/tabu,
ungkapan-ungkapan dan upacara adat lainnya. Kesakralan terhadap sumber daya
alam membentuk sikap dan perilaku mereka untuk tidak melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan adat. Menurut mereka jika dilanggar, maka orang yang
bersangkutan diyakini bisa kena “katula” berupa penyakit, cacat, atau
meninggal. Karena itu, untuk tetap melestarikan potensi sumber daya alam
seperti, danau Lindu, hutan dan beberapa pantangan atau tabu, maka yang
bersangkutan akan dikenakan sanksi berupa denda, dulam, kain mbesa, dan
binatang lainnya (sapi atau kerbau). Dipertegas dalam adat dengan motto” makono
ada, malompe todea” dan “maroso ada, malino ngapa” artinya jika hukum
ditegakkan secara adil, maka rakyat hidup sejahtera, negeri aman dan damai. Selain
fungsi ekologis, seperti hutan, danau dan jagad raya agar tetap dilestarikan, juga
merupakan sumber kehidupan warga masyarakat setempat, karena itu, upacara- upacara
adat atau ritual lainnya, masih tetap dipertahankan dan dilakukan di Bantaya bagi
masyarakat Kaili , Lobo bagi masyarakat Kulawi. Sebagai contoh, upacara Vunja yakni
upacara kegembiraan selesai panen, mereka melakukan di areal dekat hutan, karena
di lokasi itu ada bangunan Bantaya atau lobo, diselingi dengan tarian modero, ungkapan-ungkapan
atau peribahasa yang diperuntukkan bagi remaja putra-putri. Namun, selama
tarian modero berlangsung, mereka tetap pada koridor etika yang berlaku pada
komunitas tersebut, karena bila ada yang melanggar sesuai ketentuan adat, maka
sanksi adat tetap berlaku. Oleh karena itu, adat istiadat difungsikan tidak terbatas
pada pengrusakan hutan, tetapi juga yang bersentuhan dengan perilaku sehari- hari,
misalnya tidak boleh sombong, angkuh, hidup boros atau glamour, menyebarkan isu
negatif (pitnah), dimaksudkan agar kehidupan bermasyarakat, baik individu, kelompok,
atau suku untuk tetap hidup harmonis walaupun berbeda agama dan keyakinan
masing-masing.
Keselarasan dianggap akan mencegah konflik serta menjamin kerukunan antara sesama
unsur yang menjaga jagad ini (manusia pada umumnya), terhadap sesama anggota
warga masyarakat. Hal ini terjabarkan dalam sistem nilai dan sistem ritus dan simbol
(Daeng, 2000: 15), di mana ikatan sesama manusia, tanah, hasil bumi dan kekuatan-kekuatan
adikodrati dikukuhkan dalam keseimbangan. Demikian juga dengan tabu, pantangan
atau pemali dan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran tersebut, semuanya
berorientasi kepada penjagaan kelestarian, keselarasan hubungan antara unsur-unsur
jagad. Konsisten dan kebersamaan dalam menjaga ketertiban dan keamanan melalui
motto “hintuwu mome panimpu” disimbolkan agar tetap menjaga keutuhan dan
ketenteraman hidup dalam masyarakat, dengan pilar utama adalah “ pakaroho
hintuwu” artinya perkuat persatuan dan kesatuan, dan “nemo mome kingki, padaa
dan kubi “ artinya jangan saling membenci, dan saling menyakiti antara sesama penghuni
jagad.
Sumber :
https://www.academia.edu/84138750/Kearifan_Lokal_Masyarakat_Kaili_DI_Sulawesi_Tengah
Etnis Kaili Dan Adat PITUM{OLE
ETNIS KAILI DAN ADAT PITUMPOLE
TO KAILI atau orang Kaili, adalah
salah satu etnis yang memiliki sub etnis terbesar dari 24 etnis yang hidup di
wilayah Propinsi Sulawesi Tengah. Kebanyakan etnis Kaili mendiami wilayah
lembah Palu, sebagai ibukota propinsi, memiliki berbagai keragaman seni budaya
yang menjadi eksotika, pesona keindahan kehidupan masyarakatnya, ditunjang
dengan panorama alam yang tak kalah banding dengan daerah lain di Indonesia.
Dari rupa warna dinamika
kehidupan budayanya, hingga saat ini yang masih tumbuh lestari, dipelihara oleh
masyarakat Kaili adalah ADAT PERKAWINAN.
Salah satu adat perkawinan yang
masih terpelihara dan dilaksanakan adalah rangkaian adat perkawinan bangsawan
etnis Kaili Kota Palu di Sulawesi Tengah “PITU MPOLE “ .
PITU artinya tujuh dan MPOLE
berarti ikatan. Simbol dari adat PITUMPOLE adalah TAIGANJA ( terbuat dari emas
sebagai lambang kehormatan adat), DOKE dan TINGGORA serta 7 (tujuh) lembar kain
MBESA (kain kulit kayu) yang diletakkan di atas DULA PALANGGA ( dulang berkaki
), diserahkan oleh pihak keluarga calon pengantin pria kepada keluarga calon
pengantin wanita pada saat NANGORE BALANJA (mengantar harta).
Makna dari PITUMPOLE adalah
MABOSU TAINA ( cukup pangan ), MARANGGALA BUKUNA ( kuat / kekar ), MANAPA
POPAKEANA ( cukup sandang ), MANOU BALENGGANA ( teduh ), MAPIRI MATANA (lelap
dalam tidur), MALINO TALINGANA ( tenang dalam pendengaran ), MAREME
PANGANTOAKANA ( terang dalam penglihatan ).
SEBELUM PERKAWINAN
Sebelum saat perkawinan tiba,
terlebih dahulu dilakukan beberapa upacara adat, yaitu :
NOTATE DALA
Bilamana pilihan calon istri
telah disepakati oleh orang tua dan seluruh keluarga dekat dan anak laki – laki
itu sendiri, maka diadakanlah usaha NOTATE DALA, yaitu merintis jalan akan
adanya kemungkinan jalan yang terbuka bagi pihak keluarga laki – laki untuk
meneruskan peminangan.
Upacara ini bertujuan untuk
mencari informasi tentang apakah calon pengantin perempuan sudah terikat dengan
laki – laki lain atau belum.
NOTATE DALA tentunya akan
berdampak pada dua kemungkinan, yaitu pinangan diterima atau ditolak. Bagi
etnis Kaili, penolakan pinangan dianggap satu hal yang cukup memalukan pihak
keluarga laki – laki.
Prosesi usaha merintis jalan
(NOTATE DALA) dilakukakan dengan cara mengutus keluarga terdekat pihak laki –
laki yang disebut suro atau kurir, berkunjung secara kekeluargaan ke rumah
pihak keluarga perempuan untuk mencari informasi. Utusan ini melaksanakan
tugasnya dengan sangat rahasia menyampaikan niat pihak keluarga laki - laki
kepada pihak orang tua perempuan. Penyampaian maksud kedatangan merekapun
menggunakan kata – kata kias sebagai media penyampaiannya.
Bila jalan yang dirintis telah
terbuka, NOTATE DALA merupakan tonggak utama untuk melanjutkan niat pihak
keluarga laki - laki untuk menuju tahapan peminangan atau nebolai.
NEBOLAI
Nebolai atau peminangan,
digunakan untuk kalangan para raja atau bangsawan. Sementara untuk kalangan
rakyat biasa disebut Neduta.
Tujuan peminangan yaitu
mengajukan lamaran kepada anak gadis untuk dikawinkan atau dijodohkan dengan
seorang laki – laki dari pihak keluarga yang melamar. Dalam bahasa Kaili maksud
peminangan ialah nantarima karava nujarita dako rimombine, artinya menerima
kejelasan atau ketegasan hasil musyawarah dari pihak keluarga perempuan.
Upacara ini umumnya dilakukan di
rumah keluarga perempuan. Saat peminangan, biasanya anak gadis yang akan
dilamar diusahakan tidak berada di rumahnya. Si gadis oleh keluarganya diajak
bertandang ke rumah keluarga lainnya atau diundang secara khusus oleh keluarga
terdekatnya. Hal ini dimaksudkan agar yang bersangkutan tidak mengetahui hal –
hal yang dibicarakan di rumahnya.
Dalam upacara NEBOLAI, pihak
keluarga laki – laki membawa perangkat adat yang disebut SAMBULU GARO ( sirih
pinang ), SAMPU LOIGI ( perhiasan emas untuk wanita ) dan SABALE KAMAGI ( buah
kalung emas ) yang berfungsi sebagai PEMBEKA NGANGA atau pembuka mulut untuk
mengawali pembicaraan meminang. Terjadilah dialog antara juru bicara dari pihak
keluarga laki – laki atau TOPEBOLAI dengan juru bicara pihak keluarga perempuan
atau TOPANTARIMA PEBOLAI.
Dari hasil pembicaraan kedua
belah pihak keluarga, akhirnya SINTUVU atau kesepakatan dibulatkan untuk
menjodohkan anak mereka. Sebagai simbol tanda kesepakatan, oleh utusan pihak
keluarga laki – laki mengikat anak gadis yang telah dipinang dengan POMPOKADA
atau pengikat kaki. Umumnya POMPOKADA berbentuk cincin kawin sebagai tanda
ikatan bagi kedua calon pengantin, dengan harapan dari keluarga kedua belah
pihak anak mereka tidak lagi melirik pria atau gadis lain, membatasi pergaulan
mereka, bersama – sama menjaga harkat dan nama baik keluarga.
NO OVO
Setelah pembicaraan NEBOLAI atau
peminangan selesai, oleh kedua belah pihak keluarga melanjutkan musyawarah
mereka untuk menentukan atau NO OVO pelaksanaan mengantar harta belanjaan bagi
calon pengantin wanita atau NANGORE BALANJA, penentuan mahar atau SUNDA dan
hari pelaksanaan akad nikah atau EO MPONIKA, yang biasa juga disebut EO MATA
MPOBOTI atau hari perkawinan.
Di kalangan etnis Kaili,
menentukan hari – hari pelaksanaan upacara adat tersebut tidak sembarang.
Sebuah perhitungan secara tradisi yang masih terpelihara secara turun temurun
pada masyarakat Kaili yang disebut KOTIKA, digunakan untuk mencari dan
menentukan hari – hari baik pelaksanaan upacara - upacara adat tersebut.
Rumus perhitungan KOTIKA sangat
sederhana namun diyakini jitu untuk dijadikan perhitungan, menggunakan telapak
dan jari – jari tangan yang mempunyai simbol angka dan maknanya.
NANGORE BALANJA
Upacara adat NANGORE BALANJA
adalah proses penghantaran harta belanjaan darai pihak keluarga calon pengantin
laki – laki ke rumah calon pengantin perempuan. Jumlah pelaksana upacara adat
ini lebih besar dari jumlah pelaksana upacara adat NOTATE DALA dan NEBOLAI.
Rombongan keluarga laki-laki terdiri dari para orang tua adat ( TOTUA NU ADA ),
tokoh masyarakat (TOTUA NU NGATA), keluarga dan kerabat lainnya. Demikian pula
halnya di rumah calon pengantin perempuan, sudah menanti pula para orang tua
adat, keluarga dan kerabat mereka.Umumnya NANGORE BALANJA dilaksanakan sore
hari.
Rombongan pihak keluarga laki –
laki selain membawa sambulu ( sirih pinang ) yang berfungsi sebagai suatu adat
yang menandakan memasuki jenjang perkawinan atau ADA MPOBEREI. Selain sambulu,
harta bawaan pihak keluarga laki – laki juga membawa uang tunai ( DOI BALANJA )
yang jumlahnya sesuai kesepakatan saat NEBOLAI, beras, pakaian dan kelengkapan
kosmetik calon pengantin wanita, tempat tidur lengkap, aneka buah – buahan
serta kue atau penganan khas daerah.
Khusus buah – buahan, semuanya
dibawa menggunakan SAVIRA, semacam keranda terbuka yang dibuat dari bambu
kuning ( BOLOVATU ), diusung saat dibawa ke rumah calon pengantin perempuan.
MOTINDA ULA ULA
ULA ULA terbuat dari kain yang
berbentuk orang – orangan berjumlah 2 buah, berwarna merah dan kuning
dipancangkan pada sisi kanan dan kiri depan pintu pagar rumah calon pengantin wanita,
memakai tiang dari bambu kuning. ULA ULA adalah simbol pelaksanaan sebuah pesta
adat.
Memasang atau memancangkan ULA
ULA, juga melalui prosesi adat yang disebut MOTINDA ULA ULA.
Oleh seorang pemuka adat, sebelum
ULA ULA dipancangkan terlebih dahulu dibacakan mantera – mantera atau ( GANE )
lalu ditetakkan darah ayam atau (NICERA) pada tiangnya.
Setelah ULA ULA berdiri
terpancang, dengan demikian pesta adat dinyatakan dimulai. Tetabuhan musik
tradisional KAKULA mulai dibunyikan dan segala aktifitas pembuatan kelengkapan
pesta sudah boleh dilaksanakan, seperti : membuat MATUBO (pintu gerbang) yang
dihiasi janur ( NIVERA ), TANGGA LANJARA ( tangga yang terbuat dari anyaman
bambu kuning ) di pintu pagar rumah calon pengantin perempuan. Pada sisi kanan
dan kiri TANGGA LANJARA diletakkan pohon pisang yang berbuah tanpa daun masing
– masing 1 pohon, kelapa muda 3 – 5 buah, nangka yang sudah masak 2 buah, 2
batang tebu yang masih lengkap dengan akar dan daunnya dan taba. Sementara itu
di dalam rumah juga dimulai kegiatan membuat PUADE ( pelaminan ).
Perihal musik tradisional KAKULA
adalah seperangkat alat musik yang terdiri dari KAKULA ( gamelan ) berjumlah 7
buah bernada pentatonis, 2 buah TAWA –TAWA ( gong ) dan 1 buah GIMBA ( gendang
). Alat musik ini memainkan aneka irama tradisi seperti NDUA-NDUA, PALANGA dan
ANADARA BOTITO.
M O D U T U
MODUTU adalah proses pelaksanaan
dekorasi kamar dan ranjang pengantin. Kelengkapan tata rias interior kamar dan
ranjang pengantin terdiri dari aneka kain warna warni bersulam ornamen khas
daerah. Pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh kaum wanita, dibantu kaum remaja
yang dipimpin oleh orang tua adat dan ibu perias pengantin (TINA NUBOTI).
NOMANU – MANU DAN NOMPASOA
NOMANU – MANU merupakan sebuah
tradisi dalam rangkaian upacara perkawinan bangsawan Kaili yang bersifat
hiburan sebelum dilaksanakan upacara NOMPASOA (mandi uap) bagi calon pengantin
pria. Dalam prosesi upacara adat ini calon pengantin pria bersama 6 orang pria
lainnya mengenakan sarung panjang ( BUYA AWI ) berwarna - warni yang menutup
seluruh badan mereka. Ketujuh pria ini, termasuk calon pengantin pria oleh
orang tua adat wanita diraba di bagian kepala untuk dicari / ditebak mana calon
pengantin pria yang sesungguhnya.
Prosesi ini biasanya berlangsung
agak lama karena postur tubuh ketujuh pria ini hampir sama. Setelah ditemukan,
calon pengantin pria dibawa oleh orang tua adat wanita (TOPOPASOA) ke tempat
mandi uap yang telah disiapkan, lalu calon pengantin pria pun dimandi uapkan
(NIPASOA).
Adapun kelengkapan untuk mandi
uap (NOMPASOA) terdiri dari : sebuah loyang besar yang diisi air dingin, batu
yang dipanaskan dan aneka daun dan kembang yang harum baunya.
N O G I G I
Menurut kepercayaan To Kaili (
orang Kaili ), setiap calon pengantin sebelum melangsungkan akad nikah sebagian
bulu – bulu badan keduanya harus dicukur yang dianggap sebagai sumber
kecelakaan hidup, biasa disebut VULU CILAKA. Bagi calon pengantin perempuan,
yang dicukur adalah bagian – bagian rambut bagian depan termasuk bulu – bulu
tengkuk, alis mata dan bagian bulu kepala bagian muka serta tangan dan kaki,
harus dilicinkan. Sementara bagi calon pengantin pria hanya pada bagian alis
atau tengkuknya saja. Mencukur sebagian bulu badan inilah yang disebut NOGIGI.
Upacara NOGIGI dilakukan oleh
orang tua adat wanita, juga bertujuan untuk memantapkan keyakinan kedua calon
pengantin bahwa mereka telah siap meninggalkan masa mudanya dan secara mental
siap menghadapi hari depan mereka dengan keyakinan yang kokoh, kuat dalam
dirinya masing-masing.
Bagi kalangan bangsawan Kaili,
sebelum dicukur (NIGIGI), calon pengantin perempuan dari kamarnya diangkat
dengan kursi ke kamar adat yang telah disiapkan, menggunakan sarung panjang
(BUYA AWI) dan saat dicukur calon pengantin dipangku oleh ibunya sebagai tanda
kasih saying pada si anak.
Selain pisau cukur, dalam upacara
NOGIGI juga disiapkan kelengkapan berupa segelas air, daun kamonji, silaguri,
patoko dan siranindi. Selain itu disiapkan pula JAJAKA, terdiri dari : gula
merah, 1 butir telur ayam, 1 buah kelapa yang sudah bertunas, 3 ikat padi, 1
buah benang, 1 mangkuk beras yang di atasnya diletakkan sebatang sirih dan
pinang.
MOKOLONTIGI
MOKOLONTIGI artinya malam
pacar,sebuah upacara adat turun temurun yang dilaksanakan oleh etnis Kaili,
sehari sebelum melangsungkan akad nikah.
Nokolontigi dimaksudkan sebagai :
1. Memberikan kekuatan kepada
calon pengantin agar tidak mudah dipengaruhi oleh setan dan roh – roh jahat
2. Memberikan makna dan arti
simbolik bagi keduanya tentang ancaman bilamana terjadi perceraian
3. Agar kedua calon pengantin
umur panjang, mudah rezeki, hati yang terang dan pikiran yang tajam
Yang paling pokok dalam acara
Nokolontigi adalah berkumpulnya seluruh sanak keluarga, kerabat dan handai
taulan yang memberi doa restu disertai harapan agar kelak calon pengantin dapat
membangun mahligai rumah tangga yang hakiki, sakinah, mawaddah warahma.
Dalam adat PITUMPOLE, pelaku
MOKOLONTIGI terdiri dari 7 orang laki – laki dan 7 orang perempuan. Mereka
umumnya adalah orang tua adat, tokoh masyarakat dan pemuka agama.
Perangkat pokolontigi terdiri
dari :
Bantal, umumnya dipakai sebagai
pengalas kepala saat tidur, melambangkan kehormatan dan martabat seseorang.
Kain Putih, simbol dari kesucian
dan keagungan, bermakna agar calon pengantin dalam kehidupannya kelak cukup
sandang, dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka selalu berada di jalan
yang lurus, suci, diridhoi oleh Allah SWT di dunia dan akhirat.
Daun Pisang, perlambang pohon
yang dingin dan sejuk, mudah tumbuh berketurunan, bermakna agar kedua calon
pengantin tetap dalam suasana kesejukan, hidup aman dan tentram, diberi
keturunan yang saleh atau salehah.
Air, lambang kehidupan. Siklus
kehidupan di bumi ini selalu tergantung pada air. Bagi calon pengantin,
bermakna kesinambungan hidup, umur panjang, banyak rezeki, meluap bagai mata
air, mengalir tak henti, suci dalam berpikir lahir dan bathin.
Daun kolontigi atau daun pacar,
apabila diletakkan di telapak tangan akan menjadi merah. Makna simbolik dari
warna merah adalah keberanian, ikrar yang tak bias dipungkiri oleh kedua calon
pengantin bahwa mereka telah resmi bertunangan, tidak boleh melirik wanita atau
pria lain. Kolontigi juga sebagai lambang kesenangan dan membuat hati terang
Minyak, melambangkan kehidupan
yang mapan, tak ada hambatan dalam mencari rezeki, licin bagai minyak.
Disimbolkan pula sebagai strata kehidupan, karena bila di air, minyak akan
selalu di atas. Begitupun kehidupan kedua calon pengantin kelak.
Bedak, perlambang sebuah
perlindungan dan pesona aura. Olehnya, dalam mengarungi bahtera rumah tangga,
kedua calon pengantin selalu terlindungi, memperoleh kebahagiaan,
kesejahteraan, kesejukan, pesona aura kecantikan dan ketampanan mereka tetap
terjaga, sejuk dan damai.
Lilin, yang diputar di depan
calon pengantin bermakna sebagai suluh atau obor penerang dalam mengarungi
bahtera rumah tangga, kemudian ditiup sampai padam oleh calon pengantin yang
bermakna untuk mengusir iblis yang selalu menggoda hati manusia. Kita ketahui
bahwa iblis diciptakan Allah SWT dari api. Kemudian arang dari sumbu lilin yang
dipadamkan diletakan di dahi, leher dan pusat. Hal ini bermakna sebagai tolak
bala atau pelindung dari godaan iblis dan roh jahat yang masuk dari mata, ubun
– ubun, telinga, tenggorokan dan pusat.
Beras Kuning, bermakna semoga
calon pengantin memperoleh perlindungan, kesehatan, kesejahteraan, selamat dan
bahagia serta maghfirah dari Allah SWT.
Setelah NOKOLONTIGI selesai,
calon pengantin pria diberikan sarung untuk dikenakannya dari keluarga calon
pengantin perempuan, yang disebut NIPASALINGI.
NIPASALINGI dimaksudkan sebagai
bentuk penghargaan bagi calon pengantin pria yang nantinya secara resmi menjadi
anggota keluarga calon pengantin wanita.
MANGGENI BOTI
Didahului dengan kedatangan
utusan penjemput dari pihak keluarga calon pengantin wanita yang datang ke
rumah calon pengantin wanita, calon pengantin pria dan rombongan pengantarnya
siap menuju rumah calon pengantin wanita untuk pelaksanaan akad nikah. Dari
SOURAJA (kediaman Raja), calon pengantin pria diantar / diarak oleh rombongan orang
tua adat, tokoh masyarakat, pemuka agama, kerabat dan keluarga. Prosesi
mengantar calon pengantin pria ini disebut MANGGENI BOTI.
Bagi kalangan bangsawan Kaili,
calon pengantin pria dinaikkan ke punggung seekor kuda yang telah disiapkan
lalu dibawa berjalan menuju rumah calon pengantin wanita. Calon pengantin ini
dikawal oleh 2 orang pemuda yang juga berkuda, dengan pakaian adat lengkap yang
disebut PANGAMPI sebagai simbol kebesaran.
Pasukan pengawal lainnya yang
berada pada posisi terdepan adalah TOPEAJU. Pasukan ini dikenal gagah berani,
siap menghalau musuh atau orang – orang jahat yang mencoba menghalangi
rombongan calon pengantin pria di sepanjang perjalanan.Mereka dilengkapi dengan
senjata khas Kaili berupa DOKE ( tombak ), KALIAVO ( perisai ) dan GUMA (parang
panjang).
Sepanjang perjalanan menuju rumah
calon pengantin wanita, TOPEAJU memekikkan teriakan – teriakan heroik atau NEAJU
sebagai simbol semangat dan kegigihan mereka untuk mengawal calon pengantin.
Selain itu, iring – iringan calon pengantin pria juga dimeriahkan oleh
tetabuhan musik tradisi RABANA.
MBATOMUNAKA BOTI
Inilah prosesi penjemputan calon
pengantin pria sebelum memasuk pintu gerbang rumah calon pengantin wanita,
MBATOMUNAKA BOTI ( penjemputan pengantin ).
Di pintu gerbang rumah calon
pengantin wanita telah siap pasukan bersenjata khas lengkap ( TOPEAJU ). Perang
– perangan pun terjadi antara TOPEAJU dari pihak calon pengantin pria dengan
TOPEAJU dari calon pengantin wanita. Ibaratnya mereka saling bersikukuh untuk
mempertahankan kebesaran Rajanya. Di satu pihak mencoba untuk menerobos masuk,
namun pihak lainnya menghalangi.
Suasana perang pun menjadi damai
setelah sang Raja dan Permaisuri (ayah dan ibu kandung calon pengantin wanita)
datang menjemput calon menantunya untuk dibawa ke dalam rumah mereka
melaksanakan prosesi akad nikah sambil diiringi musik tradisi KAKULA.
Setelah turun dari kuda sambil
diantar oleh kedua calon mertua, calon pengantin pria berjalan dan dipayungi
dengan paying kebesaran kerajaan. Memasuki halaman rumah, calon pengantin pria
berjalan diatas hamparan daun pinang yang dilapisi kain putih sampai di tangga
rumah calon pengantin wanita.
Sebelum menaiki tangga rumah
dilakukan prosesi PETAMBULI (sebuah prosesi dialog menggunakan bahasa adat
Kaili sebagai salam hormat untuk memasuki rumah calon pengantin wanita).
Seorang tetua adat ( TOPETAMBULI ) dari calon pengantin pria sambil memegang DOKE
(tombak) menyampaikan salam….. Ri pura – puramo tupu banua (sudahkah ada semua
tuan rumah). Lalu dijawab oleh tetua adat dar calon pengantin wanita……. Ri pura
– puramo, le nague – gue (sudah ada semua, tidak ada yang kurang). Kemudian
dilanjutkan oleh tetua adat calon pengantin pria dengan kata –kata…….. Muli
ntopebolai kana mebolaimo, yang dijawab oleh tetua adat calon pengantin
wanita……. Muli ntopebolai kana rabolaimo artinya keturunan asal dari orang
meminang harus dipinang yang dijawab keturunan asal dipinang mesti harus
dipinang.
Setelah prosesi PETAMBULI
selesai, calon pengantin pria oleh tetua adat wanita diulurkan CINDE untuk
dipegangnya sambil ditarik masuk ke dalam rumah dan dihamburkan beras kuning (
NIKAMBU OSE KUNI ) sampai calon pengantin duduk di tempat yang telah disiapkan.
CINDE adalah perangkat adat untuk
menjemput calon pengantin pria atau tamu agung yang berkunjung di Tana Kaili.
CINDE terbuat dari kain putih dililit dengan MBESA (kain tenunan khas, dulu
bahannya terbuat dari kulit kayu) yang panjangnya 4 atau 8 meter. Ujung
lilitannya diisi telur ayam 1 butir, gula merah dan beras. Untuk menguatkan
lilitannya digunakan PONTO NDATE atau gelang panjang.
ULU CINDE ( diulurkan cinde ) dan
NIKAMBU OSE KUNI (dihamburkan beras kuning) bermakna simbolik agar calon
pengantin murah rezeki, dapat merasakan manisnya kehidupan, kompak dalam
mengarungi bahtera rumah tangga dan senantiasa diberi perlindungan dari Tuhan
Yang maha Esa.
M O N I K A
MONIKA artinya akad nikah.
Sebelum prosesi akad nikah dilaksanakan, terlebih dahulu diawali dengan
penyerahan SAMBULU GANA ( sirih pinang lengkap ) dari utusan yang telah
dipercayakan oleh pihak keluarga calon pengantin pria yang diterima oleh
penerima sambulu yang telah dipercayakan oleh pihak keluarga calon pengantin
wanita. SAMBULU GANA dianggap sebagai kepala adat ( BALENGGA NU ADA ) untuk
memulai sebuah prosesi adat pernikahan PITUMPOLE bagi kalangan bangsawan etnis
Kaili di lembah Palu. Dalam adat istiadat Kaili, SAMBULU GANA harus berkepala (
NOBALENGGA ) berupa 1 ekor kambing, berotak ( NOUNTO ) berupa cincin emas,
berisi ( NOISI / NOKANDEA ) berupa beras 25 liter. Selain SAMBULU GANA, juga
diserahkan SUNDA ( mahar / mas kawin ), biasanya berupa uang tunai dan
seperangkat alat shalat.
Setelah serah terima SAMBULU GANA
dan SUNDA dilaksanakan, dilanjutkan dengan pelaksanaan Ijab Kabul. Secara umum
jalannya prosesi acara ini sesuai dengan syariat agama Islam yang dianut oleh
sebagian besar penduduk kota Palu.
NOGERO JENE
Setelah ijab kabul dilaksanakan,
pengantin pria diantar ke kamar pengantin wanita untuk membatalkan wudhu atau
NOGERO JENE. Turut serta dibawa masuk ke kamar pengantin wanita oleh pengantar
pengantin pria adalah SAMBULU GANA dan SUNDA ( mahar ).
Prosesi acara ini umumnya
mengikuti aturan sesuai syariat agama Islam.
NOPATUDA
NOPATUDA artinya duduk bersanding
bagi kedua pengantin. Inilah saat kedua pengantin duduk di pelaminan ( PUADE )
untuk disaksikan oleh seluruh yang hadir. Bagi kalangan bangsawan etnis Kaili,
tata cara duduk kedua pengantin mempunyai aturan tertentu yakni NOSULEKA atau
duduk bersila bagi pengantin pria dan bagi pengantin wanita, kaki kanannya
diangkat, kedua tangan dipangku dan diletakkan di atas lutut kanan. Busana yang
dipakai pengantin juga mencerminkan ciri khas bangsawan yaitu warna kuning.
Adapun kelengkapan busana dan
aksesoris pengantin bangsawan etnis Kaili adalah :
Yang digunakan pengantin wanita :
- Baju Gembe ( baju yang
bentuknya agak besar )
- Geno ( kalung )
- Pavala ( gelang lengan )
- Paseda ( gelang bundar )
- Pungu Tandu ( sanggul berbentuk
tanduk )
- Utu utu ( kain penutup kepala )
- Jimawalu, jima jiji, dali taru
( anting – anting panjang )
- Gogo ( kalung yang mengikat
lehar )
- Geno ( kalung panjang di dada )
- Sampoaro ( kalung lebar )
- Kavari ( kalung yang tergantung
di dada sampai punggung )
- Ponto Ndate ( gelang panjang )
- Lola ( gelang kaki )
- Vinti ( gelang kaki )
Yang digunakan pengantin pria :
- Baju Banjara ( baju lengan
panjang )
- Puruka Ndate ( celana panjang )
- Sigara ( destar / penutup
kepala )
- Geno ( kalung panjang di dada )
- Pavala dan Paseda ( gelang )
- Sulepa ( ikat pinggang )
- Keri ( keris )
Semua aksesories yang digunakan
pengantin terbuat dari emas. Demikian pula ornament yang menghiasi busananya, disulam
dari benang emas.
SESUDAH PERKAWINAN
MANDIU PASILI
Ini adalah prosesi adat
perkawinan di Tana Kaili bertujuan untuk mempererat hubungan suami istri, agar
keduanya dapat hidup rukun dan damai. MANDIU PASILI atau mandi kembang bagi
pengantin, dilakukan di depan pintu rumah pengantin wanita. Kedua pengantin
yang telah resmi menjadi suami istri memakai sarung panjang ( BUYA AWI ). Pria
duduk di atas sebilah kapak, sedang wanita duduk di atas alat tenun tradisional
yang disebut BOKO – BOKO, disampingnya diletakkan rumput PAKELA dan SILAGURI.
Kedua jenis rumput ini kecil
bentuknya tetapi akarnya sangat kuat menghujam melekat di dalam tanah.
Perangkat MANDIU PASILI, selain
loyang besar berisi air yang telah dicampur dengan ramuan aneka kembang dan
daun yang harum juga ada mayang kelapa dan mayang pinang. Untuk memayungi kedua
pengantin saat dimandikan, diletakkan kain putih dan jala ikan yang di atasnya
ditaruh sebutir telur ayam. Kain putih dan jala ini dipegang oleh 4 orang ibu –
ibu yang membantu jalannya prosesi MANDIU PASILI.
Oleh ibu pengantin ( TINA NUBOTI
) sebelum kedua pengantin disiram dengan air kembang terlebih dahulu dibacakan
mantera – mantera ( GANE – GANE ) ….. He Tupu, yaku mo mandiu pasili ana
botiku, maliuntinuvu, mandate kaloro, masempo dale, ne maraya mbulu …… artinya
Hai Tuhanku, aku memandikan kedua pengantin ini, agar perkawinan mereka
langgeng sampai akhir hayat, panjang umur, murah rezeki dan tidak mengalami
banyak penyakit. Selanjutnya kedua pengantin dimandikan oleh ibu pengantin.
Setelah selesai dimandikan, oleh
ibu pengantin kedua pengantin disatukan dengan ikatan kain putih pada pinggang
mereka dan dibawa berjalan masuk ke dalam rumah. Penghamburan beras kuning (
NOKAMBU ) tetap dilakukan. Setelah sampai di dalam rumah dan kedua pengantin
duduk pada tempat yang telah disiapkan, mereka NILILI atau diputarkan lilin
yang masih menyala di atas kepala keduanya lalu ditiup untuk dipadamkan
bersama. Arang dari sumbu lilin yang dipadamkan itu ditetakkan di dahi,leher
dan pusat kedua pengantin. Ini bermakna agar keduanya tidak diganggu oleh roh
atau ilmu jahat yang menurut kepercayaan orang Kaili biasa masuk lewat ubun –
ubun, leher atau pusat. Di akhir prosesi MANDIU PASILI dilakukan pembacaan do’a
secara syariat agama Islam sebagai ungkapan kesyukuran pada Tuhan Yang maha
Esa.
MEMATUA
Selain sebagai bagian akhir dari
seluruh prosesi upacara adat perkawinan PITUMPOLE, kalangan bangsawan etnis
Kaili, MEMATUA adalah kunjungan pertama pengantin wanita ke rumah mertuanya.
Upacara adat ini bertujuan untuk memberi penghargaan dan penghormatan pengantin
wanita dan kerabat keluarganya kepada kedua mertuanya.
Sebelum berkunjung ke rumah
mertuanya, terlebih dahulu pengantin dan rombongan yang akan mengantar mereka
dijemput oleh utusan dari pihak keluarga pengantin pria sebagai isyarat bahwa
keluarga pengantin pria telah siap menerima kunjungan mereka. Dalam kunjungan
MEMATUA, rombongan pengantar juga membawa PETAMPARI ( cinderamata ) dan PO’OLO
( aneka kue khas yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk sesajian
bertingkat ).
Sebelum masuk ke rumah pengantin
laki - laki, kedua pengantin di tangga rumah terlebih dahulu menginjakkan kaki
di DULA NU ADA ( dulang adat ). Hal ini bermakna agar kedua mempelai dalam
mengarungi bahtera rumah tangga selalu rukun, damai dan sejahtera. Semua
dilambangkan dengan kelengkapan perangkat DULA NU ADA yang terdiri dari : kapak
besi, rumput silaguri, rumput pamanu, daun kamonji, siranindi yang semuanya
diletakkan di atas nampan / dulang besar.
Menginjakkan kaki di atas DULA NU
ADA merupakan simbolik pernyataan kepribadian yang kokoh, kuat, bersatu dengan
bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam berumah tangga. Setelah itu
kedua pengantin diulurkan CINDE dan dihamburkan beras kuning ( NIKAMBU OSE KUNI
) oleh tetua adat wanita, dibawa sampai pada tempat duduk mereka yang telah
disiapkan.
Bagian lain dari prosesi MEMATUA
adalah NEINGGA dan NOSIPAKANDE. NEINGGA ditandai dengan pengikatan BOTIGA pada
pergelangan tangan kanan pengantin wanita.
BOTIGA, terbuat dari manik –
manik yang yang ditusuk dengan benang. Bila telah diikatkan pada pergelangan
tangan pengantin wanita, ini berarti pertanda bahwa pengantin wanita telah
resmi menjadi anak mantu sekaligus anggota keluarga pengantin pria dan berhak
mengemukakan pendapat dalam musyawarah keluarga, bila diperlukan. Hal ini juga
bermakna agar pengantin wanita dapat berbaur atau mosimposoa dengan keluarga, termasuk
anak cucu kelak, hidup sehat walafiat tanpa goresan – goresan pada kulit atau
berpenyakit kulit, yang dalam bahasa kaili ala nemo makata, makadoa dan
sebagainya.
Setelah NEINGGA dilanjutkan
dengan NOSIPAKANDE, dimana kedua pengantin saling memberi makan dan minum
sambil dituntun oleh seorang tetua adat wanita.
Sajian makanan dalam NOSIPAKANDE
terdiri dari UTA TAVA TOMOLOKU (sayur daun ketela rambat), BAU ( ikan ), DAGI (
daging ) dan segelas air putih. Semuanya bermakna agar kasih sayang diantara kedua
pengantin tak kan pupus, saling menjaga dan melindungi, hidup berketurunan
seperti tumbuhnya ketela rambat.
Setelah semua prosesi NOSIPAKANDE
selesai, dilanjutkan dengan pembacaan do’a menurut syariat agama Islam.
Sebelum kedua pengantin
disandingkan di pelaminan, rangkaian upacara adat MEMATUA diakhiri dengan
pemberian cindera mata ( PETAMPARI ) dari ayah dan ibu kandung pengantin pria,
saudara kandung dan keluarga dekatnya kepada anak mantu sebagai wujud tali
kasih atas kebahagiaan mereka atas selesainya hajatan perkawinan yang telah
dilaksanakan.
Diposting oleh TAMAN BUDAYA PALU
di 10.51
Sumber : https://tamanbudayapalu.blogspot.com/2009/01/kaili-dan-budaya-perakawinannya.html